Pasar Uang Syariah: Instrument Baru di Industri Perbankan Syariah
MONDAY, 11 JULY 2011 11:39 BAHRUL
Seiring dengan pesatnya perkembangan perbankan syariah tanah air, inovasi produk sangat diperlukan untuk memenuhi kebutuhan permintaan dari nasabah. Dimana hal ini harus disiapkan oleh industri perbankan syariah. Jika tidak, fungsi dasar Bank Syariah di awal sebagai rahmatan lil’alamin tidak akan tercapai. Karena hitthoh berdirinya perbankan syariah di tanah air adalah salah satunya untuk menjadi rahmat bagi semesta, tidak hanya bagi umat muslim, akan tetapi untuk seluruh manusia, apapun itu agamanya.
Hal kedua yang menjadi hitthoh berdirinya bank syariah adalah supaya produk-produk yang ada di bank syariah bisa link langsung untuk tujuan sector riil. Karena permasalahan yang ada di konvensional jangan sampai terjadi di industri perbankan syariah yang mana kebanyakan dana mereka lari ke pasar derivative yang secara otomatis tidak digunakan untuk sector riil akan tetapi lebih kepada mencari keuntungan dari aksi spekulasi yang mereka kerjakan. Dimana sudah kita ketahui semua bahwasanya spekulasi sangat dilarang dalam Islam.
Hal ketiga yang menjadi hitthoh munculnya industri perbankan syariah adalah menjauhi riba dari setiap transaksi yang dilakukan, dimana hal tersebut sudah lumrah terjadi di industri perbankan konvensional. Hal ini sangat bertentangan dengan ajarah syariah dimana konsep riba ini telah menjadikan system ekonomi moneter menjadi tidak stabil. Dan konsep ‘orang kaya tambah kaya, orang miskin tambah miskin’ sangat subur dimana-mana, seakan-akan tidak ada celah bagi yang tidak berduit untuk maju dikarenakan kebanyakan dana yang ada larinya ke sector yang tidak mendukung perkembangan ekonomi riil.
Dukungan Regulator
Karena industri perbankan syariah terus berkembang, dan perlunya inovasi akad untuk menjawab setiap kebutuhan dari nasabah, maka Bank Indonesia dari Direktorat Perbankan Syariah telah berinisiatif mengumpulkan para decision maker yang terkait untuk memajukan pasar uang syariah tanah air. Baik itu dari pihak pemerintah yang dalam hal ini didukung oleh Kementerian Keuangan, dan juga dari pembuat fatwa yaitu diwakili oleh Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI), dari akademisi diwaliki oleh Drs. Agustianto, MA, dan pemain pasar uang syariah di setiap individu bank yang diwakili oleh tim treasury department perbankan syariah (Bank Syariah Mandiri, Bank Muamalat Indonesia, Bank Syariah Bukopin, Bank Mega Shariah, dll).
Hal ini dirasa sangat perlu mendengar pendapat di setiap pihak yang terkait dalam pengembangan pasar uang syariah dimana diskusi ini disebut sebagai Focus Group Discussion. Dikarenakan tumbuhnya asset perbankan syariah di tanah air ini, konsep pengelolaan asset dan liability (aktifa dan pasiva) sangat berperan penting dalam kemajuan sector perbankan syariah. Dimana yang sudah kita ketahui, mismatch yang ada di perbankan syariah dimana asset mereka sifatnya jangka panjang dan tidak mudah dikonversikan ke tunai. Sedangkan di sisi passiva sifatnya jangka pendek dan nasabah bisa mengambilnya kapan saja membuat bank syariah mau tidak mau harus memiliki instrumen pendukung untuk mengelola dua kolom yang berbeda ini. Jika tidak, kondisi perbankan syariah akan mengalami permasalahan dalam kelebihan liquiditas maupun kekurangan liquiditas.
Jika kelebihan liquitias, untuk mencapai keuntungan yang maksimal, maka seharusnya pihak bank yang diwakili oleh treasury department harus mencari akal agar kelebihan likuiditas ini bisa diinvestasikan di tempat lain. Sebaliknya, jika mereka kekurangan liquiditas, maka mereka harus mencari tempat untuk menutupi kekurangan tunai mereka agar bagaimana supaya tidak terjadi bank run dan pihak DPK tidak khawatir ketika mereka ingin mengambil tunai, bank syariah selalu siap menyediakan setiap kebutuhan tunai yang dilakukan oleh nasabah.
Instrumen Pasar Uang Syariah
Dari hasil diskusi kemarin yang dilaksanakan di Hotel Hyatt Regency Bandung (yang mana saya juga ikut andil didalamnya), kebanyakan instrumen yang biasa digunakan oleh industri perbankan syariah adalah REPO. Dimana hal ini sudah biasa digunakan dalam industri perbankan konvensional. REPO (repurchase agreement) adalah instrument yang biasa dipakai di bank konvensional baik ketika kekurangan likuiditas maupun kelebihan. Sertifikat ini dijual dalam diskon (contoh nominal value-nya adalah 1000, bisa dijual dengan 910, 950 dll tergantung jangka waktu yang ditawarkan) dan 1 atau 3 bulan kemudian, tergantung pada kebutuhan bank, maka sertifikat ini akan dijual kembali dengan nominal value-nya. Hal ini dilarang dalam syariah yang didalamnya ada unsur riba karena penghitungannya berdasarkan time value of money.
Sedangkan di industri perbankan syariah, hal yang sudah dilakukan adalah REPO syariah. Akan tetapi hal ini menurut saya bermasalah, jikalau menggunakan konsep yang dilakukan sistem konvensional, tinggal menambahkan kata syariah didalamnya.
Fatwa DSN-MUI No. 78 juga telah memberikan salah satu solusi untuk transaksi money market antar bank dengan SIMA-nya. Baik dengan akad mudharabah ataupun wakalah. Akan tetapi, menurut penulis fatwa ini belum spesifik, karena masik banyak instrumen lain yang bisa dilakukan oleh bank syariah untuk memenuhi pengelolaan likuiditasnya.
Oleh sebab itu, perlunya inovasi akad demi memenuhi kebutuhan industri perbankan syariah di tanah air. Dalam Fokus Group Discussion (FGD) kemarin, telah ditemukan beberapa solusi yang bisa dijadikan alternatif oleh perbankan syariah untuk pengelolaan asset dan liability mereka.
Inovasi Akad Dalam Pasar Uang Syariah
Nature dari akad sendiri dalam syariah pada dasarnya adalah mubah atau diperbolehkan. Jadi, jika tidak terdapat larangan dalam syariah, maka akad itu bisa diaplikasikan dalam industri perbankan syariah terkhusus untuk instrumen keuangan syariah. Kalau kita baca kembali buku-buku klasik, banyak sekali terdapat akad-akad mungkin dalam pandangan beberapa ahli syariah tanah air ini tidak mungkin, akan tetapi hal itu pernah terjadi dalam abad sebelumnya. Contoh, akad sale and buy back agreement, didalam kumpulan undang-udang muamalah yang dibuat oleh Imam Hanafi didalam bukunya Majallatul Ahkam Al-‘Adliyyah disana disebutkan konsep bay’ wafa’. Dimana akad ini menjelaskan diperbolehkannya akad jual dan beli kembali dimana hal ini dibutuhkan karena kemajuan zaman yang terus menuntut pelaku pasar untuk inovasi. Meskipun untuk detailnya penulis tidak bisa menjelaskan dalam tulisan ini, karena bisa bisa menjadi sebuah paper dan butuh telaah yang lebih jauh.
Hal lain yang bisa kita inovasi adalah bagaimana menyelesaikan solusi risiko valas. Banyak instrumen yang bisa ditawarkan dalam pengamanan posisi (hedging) baik itu, Islamic Swap, Islamic Currency Swap, Islamic Cross Currency Swap, Islamic Derivative (Islamic Forward, Islamic Futures dan Islamic Option). Akan tetapi, produk ini masih menjadi debatable di dunia international, akan tetapi beberapa Negara telah membolehkan pemberlakuan transaksi ini dengan memberikan guidelines-guidelines supaya terhindar dari spekulasi.
Salah satu yang disyaratkan oleh beberapa organisasi internasional adalah, transaksi yang berlaku harus bertujuan untuk hedging, bukan spekulasi, kedua transaksi yang dilakukan harus riil, ketiga transaksi tersebut harus terjadi perpindahan kepemilikan, dan lain-lain. Ada yang menyebutkan sampai 12 parameter yang harus diikuti untuk melakukan transaksi ini yang tidak mungkin disebutkan satu persatu disini.
Hal lain yang bisa dilakukan oleh industri perbankan syariah adalah Islamic Securitization (sekuritisasi syariah). Hal ini sangat diperlukan dikarenakan pada saat bank syariah butuh injeksi likuiditas, asset-aset bank shariah yang sifatnya fix payment (murabahah dan ijarah) bisa dikumpulkan sebagiannya (pool of asset) dan disekuritisasi melalui SPV dan bisa dijual kepada investor tergantung pada besaran nilai yang dibutuhkan oleh bank untuk pengelolaan assetnya. Meskipun hal ini masih perlu pendalaman lebih lanjut bagaimana mekanisme yang digunakan dan apa akad-akad yang bisa dipakai.
Maka dari itu, perlunya bagi Bank Indonesia untuk membentuk tim research yang mana terdiri dari ahli-ahli syariah dan pasar uang syariah supaya hal ini bisa diaplikasikan dimasa mendatang. Oleh karena itu, selain tim ini, penulis rasa Bank Indonesia harus Moving Forward sekarang ini dengan membuat tim Ahli Syariah di lembaga yang mempunyai otoritas tertinggi di industri perbankan syariah tanah air ini untuk menjawab berbagai tantangan yang ada.
Sukuk, Sebagai Salah Satu Instrumen Pasar Uang Syariah
Sebagaimana yang kita ketahui, perkembangan sukuk tanah air semenjak diterbitkannya obligasi syariah pada tahun 2002 oleh Indosat. Perkembangan penerbitan Sukuk terus mengalami perkembangan yang sangat baik. Sehingga undang-undang sukuk pada tahun 2008 disahkan oleh DPR dikarenakan tuntutan investor baik dalam negeri maupun luar negeri demi menjamin investasi mereka.
Sukuk adalah Efek Syariah berupa sertifikat atau bukti kepemilikan yang bernilai sama dan mewakili bagian yang tidak tertentu (tidak terpisahkan atau tidak terbagi (syuyu’/undivided share)) atas:
1) aset berwujud tertentu (a’yan maujudat);
2) nilai manfaat atas aset berwujud (manafiul a’yan) tertentu baik yang sudah ada maupun yang akan ada;
3) jasa (al khadamat) yang sudah ada maupun yang akan ada;
4) aset proyek tertentu (maujudat masyru’ mu’ayyan); dan/atau kegiatan investasi yang telah ditentukan (nasyath ististmarin khashah). (BAPEPAM-LK)
Salah satu hasil diskusi FGD kemarin adalah, pihak industri keuangan syariah mengusulkan supaya instrumen sukuk bisa dimasukkan dalam FDR (financing to deposit ratio). Akan tetapi hal ini dibantah oleh sebagian bahwasanya jikalau hal ini bisa dimasukkan, maka bank syariah akan keluar dari hittoh-nya yakni lembaga yang focus ke industri riil.
Terlepas dari masalah masuk dalam FDR atau tidak. Akan tetapi sukuk bisa dijadikan sebagai salah satu instrumen pasar uang di lembaga keuangan syariah. Karena asset yang ada diperbankan syariah bisa dijadikan sebagai pool of asset yang bisa disekuritisasi dan diperdagangkan oleh antar bank syariah sebagai instrumen asset liability management.
Penutup
Demi menjadikan bank syariah tanah air attraktif oleh investor luar, maka masih banyak yang harus dikaji baik dari segi akad, shariah compliant, dan applicability dari produk yang ditawarkan. Oleh sebab itu, tujuan dari Focus Group Discussion kemarin adalah untuk menyelesaikan masalah-masalah yang masih terjadi saat ini.
Tulisan di atas sebenarnya masih terlalu singkat untuk membahas konsep pasar uang syariah. Kalau kita bandingkan dengan Negara tetangga Malaysia, mereka lebih advance dalam pengembangan instrumen ini, dari
Tahun 1994 memperkenalkan Islamic Interbank Money Market (IIMM), 1996 implementasi dari Mudharabah Interbank Investment (MII), 1999 Mengenalkan Bai Al-Inah Funding (last resort funding facility Oleh BNM untuk melindungi posisi Bank syariah yang deficit.), tahun 2000 Mengenalkan Bank Negara Negotiable Notes (BNNN) Berdasarkan Bai al-Inah, tahun 2001 memperkenalkan Government Investment Issue (GII) – memakai akad Bai al-Inah. Tahun 2002 wadiah acceptance di perkenalkan, dan BNM mengeluarkan petunjuk Notes di Sell and Buy Back Agreement (SBBA), tahun 2004 memperkenalkan Malaysian Islamic Treasury Bills (MITB) yang pertama, tahun 2005 Menerbitkan Profit-Based GII yang pertama, tahun 2006 Penerbitan perdana Sukuk Bank Negara Malaysia Ijarah (SBNMI), 2009-2010 kemarin mereka memperkenalkan konsep Bursa Suq Al-Sila’ menggunakan akad komoditi murabahah.
Dari sejarah di atas, bisa kita lihat bahwasanya mereka terus melakukan inovasi akad dalam pengembangan pasar uang syariah. Disisi lain, mereka juga memiliki tim ahli syariah yang mengerjakan konsep per konsep sehingga terjadilah perkembangan produk yang sangat baik.
Oleh karena itu, Bank Indonesia sebaiknya memiliki tim untuk mengerjakan hal yang seperti ini demi menuju perbankan syariah yang diakui baik didalam maupun diluar negeri. Wallahu a’lam bis shawab
Oleh: H.M. Iman Sastra Mihajat, LC, PDIBF, MSc Fin
Penulis adalah Dosen Perbankan Shariah dan Pasar Modal Shariah di Universitas Al Azhar Indonesia, Konsultan Asuransi Shariah, Perbankan Shariah dan Pasar Modal Shariah Zakirah Group, Trainer Fikih Muamalah on Islamic Banking and Finance Di Iqtishad Consulting MES
sumber: http://www.pkesinteraktif.com/edukasi/opini/2701-pasar-uang-syariah-instrument-baru-di-industri-perbankan-syariah.html
H.M. Iman Sastra Mihajat
Ph.D Candidate of Islamic Banking and Finance (IIiBF)
International Islamic University Malaysia
Tel: +60 17 2542253/ +62 838 22068882
www.imansastra.blogspot.com
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Popular Posts
-
Mengenal Lebih Dekat Treasury Produk di Perbankan Syariah Oleh: H.M. Iman Sastra Mihajat, LC, PDIBF, MSc Fin (Faculty Member ICDIF-LPPI, Se...
-
EKONOMI SYARIAH INDONESIA DAN MALAYSIA PESAT berikut hasil wawancanya, semoga bermanfaat... Wawancara dengan Media O...
-
Komoditi Murabahah, Tawarruq, Bay’ Al-Inah Dan Fatwa DSN-MUI No.82 Tentang Komoditi Syariah: Comperehensive Review Oleh: H.M. Iman Sastra...
-
Masa Depan Industri Keuangan Syariah di Era OJK A New Proposal Oleh: H.M. Iman Sastra Mihajat, Lc, PDIBF, MSc Fin, PhD.c Faculty Member I...
-
Pasar Uang Syariah: Instrument Baru di Industri Perbankan Syariah MONDAY, 11 JULY 2011 11:39 BAHRUL Seiring dengan pesatnya perkemban...
-
Lika-Liku Non-Halal Income di Keuangan Syariah; Pendekatan Fikih Muhammad Iman Sastra Mihajat Sekretaris Ikatan Ahli Ek...
-
Kritik Terhadap Standar PSAK Dan Urgensi Memiliki Dewan Syariah FRIDAY, 27 MAY 2011 13:57 BAHRUL Dalam beberapa tahun terakhir, pe...
-
Mengenal Asuransi Syariah Lebih Dekat Oleh: Muhammad Iman Sastra Mihajat, Ph.D, Fitri Yunindya “Hai orang-or...
-
MISTERI KHUSNUL KHATIMAH DAN SU’UL KHATIMAH الله أكبر الله أكبر الله أكبر الله أكبر الله أكبر الله أكبر الله أكبر الله أكبر الله أكبر ...
-
Islamic Derivative? Oleh: H.M. Iman Sastra Mihajat, Lc, PDIBF, MSc Fin, PhD.c (Faculty Member ICDIF-LPPI dan Sekretaris DPP IAEI 2011-201...
used ford fusion titanium | TITanium Art
ReplyDeleteused citizen titanium watch ford titanium white wheels fusion titanium | TITanium Art, Sustainability, titanium sia Manufacturing, mens titanium necklace Furniture and Design. HV 1040.7 titanium touring cm. A. T-band-based. All core components are fused into the steel core.