Tuesday, June 25, 2013

Mengenal Asuransi Syariah Lebih Dekat


Mengenal Asuransi Syariah Lebih Dekat
Oleh:   
Muhammad Iman Sastra Mihajat, Ph.D,
Fitri Yunindya

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al Hasyr:18)
Berasuransi syariah, maka menaati perintah Allah
Sebagaimana bunyi firman Allah diatas, hendaknya setiap jiwa mempersiapkan hari esoknya. Adapun hari esok dalam ayat tersebut adalah hari dimana manusia akan menuai segala sesuatu yang dilakukan hari ini. Contohnya adalah mempersiapkan kehidupan akhirat dimana kita akan hidup kekal didalamnya, selanjutnya adapula hari esok dimana seseorang akan menghadapi segala kemungkinan yang terjadi di masa depan di dalam hidupnya.
Mempersiapkan akhirat layaknya perintah Allah adalah dengan menjalankan takwa dan istiqomah dalam kebaikan sedangkan mempersiapkan masa depan dapat ditempuh salah satunya dengan berasuransi. Dengan berasuransi maka seseorang telah menjalankan perintah Allah dengan berupaya menghadapi hari esoknya dengan sebaik-baiknya persiapan.
Ayat diatas juga merupakan perintah Allah agar manusia dapat mengatur dan mem-planning keuangannya dengan sebaik-baiknya melalui konsep asuransi syariah. Ayat tersebut juga sejalan dengan semangat dalam butir pancasila yaitu gotong-royong dimana konsep asuransi syariah merupakan implementasi semangat saling melindungi dan membantu antar sesama manusia.
Asuransi merupakan “penjamin” yang dianggap partner
Dalam UU asuransi No. 2 tahun 1992, Bab I pasal 1 dijelaskan bahwa asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi
untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang ditanggung.
Asuransi dapat mengganti kerugian seperti kerugian para pedagang, kerusakan atau kehilangan atau tanggung jawab hukum terhadap pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung seperti pihak tertanggung mengalami kecelakaan dan harus membayar sejumlah biaya atau ganti rugi kepada pihak ketiga atau kepada korban kecelakaan tersebut. Asuransi juga dapat mengganti suatu peristiwa yang tidak pasti seperti gempa bumi dan banjir.
Asuransi yang dikenal selama ini, dipandang sebagai suatu partner dalam segala kegiatan baik bisnis maupun pribadi. Dari mulai pendidikan, kesehatan, kematian, bahkan kaki pemain bola seperti Ronaldo yang dianggap asset pun dapat diasuransikan. Konsep asuransi yang dikenal masyarakat membuat masyarakat mengasuransikan segala hal yang dipandangnya berharga dengan harapan resiko yang nantinya dialami terhadap hal yang diasuransikan itu dapat di-cover oleh perusahaan asuransi.

Nilai lebih asuransi syariah
Perspektif masyarakat yang takut akan kerugian yang tidak pasti membuat industri asuransi kian meningkat, hal ini terlihat dari banyaknya jumlah perusahaan asuransi di Indonesia saat ini, baik asuransi konvensional maupun asuransi syariah.
Setelah asuransi konvensional sukses penjadi “penjamin” bagi nasabahnya, kemudian munculnya  asuransi syariah menimbulkan tanda tanya dan ambiguitas bagi masyarakat. Layaknya perbankan syariah yang disamaratakan dengan perbankan konvensional, Asuransi syariah juga mendapatkan sambutan yang sama dimata masyarakat, yaitu asuransi yang sekedar tanpa bunga dan penggunaan terminologi syariah pada polisnya.
Asuransi syariah lebih dari sekedar asuransi konvensional. Asuransi syariah jauh lebih menentramkan dan bernilai lebih dibandingkan asuransi konvensional. Pada dasarnya, konsep asuransi berbasis syariah itu sebenarnya tidak ada sama sekali dalam Islam yang ada yaitu takaful. Makna bahasa takaful dalam kamus Al-Munawwir hal. 1311 yaitu berasal dari kata Kafala-yakfulu yang artinya mencukupi nafkah dan mengurusnya atau memelihara. Dalam bahasa arab itu satu kata dapat menjadi 24 kata. Sedangkan Al-Kafaalah berarti tanggungan atau jaminan. Yang dimaksud saling menjamin yaitu dari kata takaafala-yatakaafalu-takaafulan yang artinya pertanggungan yang berbalasan atau hal saling menanggung atau saling menjamin. Karena dalam islam itu tidak boleh menjamin seseorang karena penjaminan itu konsepnya adalah spekulasi, tidak ada penjaminan bahwa kita dapat menjamin 100% risiko-risiko yang terjadi karena hidup ini penuh dengan ketidakpastian. Islam tidak boleh menanggung seseorang yang penuh dengan ketidakpastian dalam hidupnya.


Perusahaan asuransi konvensional akan mengganti kerugian sesuai pertanggungan di polis asuransi jika terjadi klaim oleh nasabah asuransi. Bagaimana jika tidak ada klaim dari nasabah? Misalnya mobil yang diasuransikan selama 2 tahun tidak mengalami resiko kerusakan atau kehilangan, maka premi yang telah dibayarkan atas kalim yang tidak diajukan menjadi keuntungan perusahaan.
Bandingkan dengan konsep asuransi syariah berikut, nasabah yang tidak mangajukan klaim terhadap perusahaan asuransi syariah, maka uang tersebut akan dialokasikan untuk nasabah lain yang mengajukan klaim apabila mengalami musibah misalnya sakit, kehilangan, bencana alam dll. Oleh sebab itu, dana yang dalam asuransi syariah menjadi dua kubu. Pertama dana tabarru’ dalam bentuk hibah, yang digunakan untuk membantu nasabah lain manakala terkena musibah berupa pengajuan klaim, dan dana tijarah yaitu dana komersil yang akan diinvestasikan oleh perusahaan asuransi dalam bentuk akad mudharabah dan keuntungannya akan dibagihasilkan oleh nasabah asuransi.
Konsep saling tolong menolong dalam asuransi syariah tersebut adalah salah satu konsep keberkahan dan ta’awun yang tidak dapat dinominalkan layaknya keuntungan berbasis pendapatan bunga. Pada asuransi konvensional risiko nasabah ditransfer ke perusahaan asuransi (transfer risiko) yaitu apabila nasabah mengalami risiko, maka perusahaan yang menjamin sedangkan dalam asuransi syariah risiko nasabah tidak ditransfer ke perusahaan tetapi dibagi kepada para peserta asuransi (risk sharing) karena dalam islam tidak boleh mentransfer risiko karena hal tersebut menjadi spekulatif.
Asuransi syariah terlahir karena adanya keraguan umat Islam terhadap kehalalan asuransi konvensional yang selama ini bergulir atas unsur ketidakjelasan (gharar), jahalah (ketidaktahuan), judi (maysir), dan bunga (riba). Unsur gharar terletak pada ketidakpastian tentang hak pemegang polis dan sumber dana yang dipakai untuk menutup klaim. Unsur maysir terlihat ketika satu pihak membayar sedikit harta untuk berharap mendapat harta lebih banyak, dengan cara untung-untungan/ tanpa pekerjaan. Unsur riba terlihat pada perolehan pendapatan dari membungakan uang, contohnya ketika seseorang yang memberi polis asuransi membayar sejumlah kecil premi dengan harapan dapat uang lebih banyak dimasa datang. Pada hakikatnya transaksi semacam ini adalah tukar menukar uang dengan adanya tambahan dari uang yang dibayarkan, ini jelas mengandung riba. Dengan adanya keraguan tersebut, maka sebagian umat Islam memandang bahwa transaksi dalam Asuransi Konvensional tidak sesuai dengan syara’ dan termasuk transaksi yang diharamkan.
Asuransi syariah merupakan refleksi kekuatan umat dimana para nasabah senantiasa saling membantu meringankan beban sesamanya manakala terjadi klaim. Hal ini juga tercermin dalam hadis riwayat bukhari yang artinya : "Diriwayatkan dari Abi Musa ra. di berkata, "Rasulullah saw. pernah bersabda, Orang mukmin yang satu dengan yang lain bagai satu bangunan yang bagian- bagiannya saling mengokohkan." Selain diumpamakan terhadap sebuah bangunan, sesama orang mukmin itu juga bagaikan salah satu tubuh dalam hal saling mengasihi dan menyayangi, dan hal ini juga tercermin dalam asuransi syariah.
Dengan berasuransi syariah, maka nasabah asuransi tidak sekedar memproteksi diri, namun juga membantu sesamanya yang terkena musibah, ketika berasuransi syariah maka seorang manusia telah berupaya memaksimalkkan hablumminallah-nya dengan perwujudan takwa serta hablumminannas kepada sesama makhluk.

Biodata Penulis:
Muhammad Iman Sastra Mihajat adalah CEO and Founder iMan Institue of Islamic Finance, pernah menjadi Shariah Compliance Group PT Takaful Indonesia, pernah menjadi Faculty Member (Trainer) Keuangan Syariah di Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI). Beliau juga Aktif sebagai Sekretaris Ikatan Ahli Ekonomi Islam (DPP IAEI Pusat), selain itu, beliau juga Dosen Asurnasi Syariah, Perbankan Shariah dan Pasar Modal Shariah di Universitas Muhammadiyah Jakarta, Universitas Al Azhar Indonesia, UIN Jkt, Pascasarjana Universitas Trisakti, Universitas Islam Az Zahrah, Konsultan Asuransi Shariah, Perbankan Shariah dan Pasar Modal Shariah Zakirah Group, Trainer Fikih Muamalah on Islamic Banking and Finance Di Iqtishad Consulting MES, R&D WakafPro99 Dompet Dhuafa Jawa Barat, Ph.D Islamic Banking and Finance (IIiBF) International Islamic University Malaysia. Selain itu, beliau juga sering diundang jadi pembicara baik itu dalam maupun luar negri.
Fitri Yunindya, adalah Mahasiswi Perbankan Syariah UIN Ciputat

sumber: Majalah Ekonomi Syariah

Wednesday, May 15, 2013

Lika-Liku Non-Halal Income di Keuangan Syariah; Pendekatan Fikih


Lika-Liku Non-Halal Income di Keuangan Syariah;
Pendekatan Fikih

Muhammad Iman Sastra Mihajat
Sekretaris Ikatan Ahli Ekonomi Islam & CEO and Founder iMan Institute of Islamic Finance



Pendahuluan

Seiring dengan perkembangan industry keuangan syariah di Indonesia yang sampai saat ini terus menunjukkan trend positif, trend pertumbuhuan industry asuransi syariah pun mengalami hal serupa. Hal ini dapat dilihat dari menjamurnya indusri asuransi syariah dari segi kuantiti dan kualitasnya yang terus menggerus pasar konvensional. Hingga saat ini, pangsa pasar asuransi syariah telah mencapai angka 7,4% lebih dari total market share asuransi secara nasional. Hal ini juga didukung oleh banyaknya pemain-pemain baru di industry ini yang di tahun 2007 hanya 37 unit bisnis, pada akhir tahun 2011 telah mencapai 46 unit bisnis dan ini akan terus bertambah di akhir tahun 2012 dikarnakan sudah ada beberapa pemain baru yang sudah mendaftarkan diri di BAPEPAM-LK. Tumbuhnya industry asuransi syariah bukan tanpa hambatan, beberap isu actual di dunia perasuransian syariah muncul, seperti halnya dana masbalah, dana yang diperoleh oleh lembaga keuangan syariah dari bunga yang berasal dari dana-dana asuransi syariah yang didepositokan di perbankan konvensional, baik itu untuk reciprocal bisnis karna bank konvensional tersebut telah memberikan asuransi produknya ke asuransi syariah, atau karna kebijakan lama untuk memperoleh jasa yang lebih baik di perbankan konvensional. Pertanyaan yang muncul adalah, kemanakah dana haram ini didistribusikan? Atau di dunia perbankan syariah ketika ada beberapa dana yang terkumpul yang dihimpun dari penalty yang disebabkan keterlambatan dari nasabah membayar kewajibannya disetiap bulannya, ataupun investasi perbankan syariah ditempat-tempat yang masih tercampur baur antara konvensional dan syariah seperti pembiayaan dihotel yang masih dipertanyakan ke syariah-annya, atau investasi di pasar modal syariah diperusahaan yang secara umumnya adalah syariah, akan tetapi mereka masih memiliki income dari anak perusahaan yang bergelut dibisnis yang kurang sesuai dengan syariah seperti broker konvensional, jual beli index komoditas konvensional dan lain lain.

Meskipun demikian, industri keuangan syariah masih menjadi primadona hingga saat ini, tidak hanya di Indonesia bahkan di dunia secara umum. Hal ini dikarnakan konsep yang ditawarkan oleh industry keuangan syariah sangat menjanjikan oleh pihak penanam modal dalam negri dan asing. System yang berkeadilan dan menentramkan ini menjadi juru kunci dalam maraknya industry keuangan syariah di tanah air. Ditambah lagi dengan dominasi muslim di beberapa dunia berpenghasilan menengah keatas menginginkan lembaga keuangan dimana ia menginvestasikan dananya haruslah sesuai dengan nilai-nilai islam, bahkan sebua syarat wajib jika lembaga keuangan tersebut ingin menikmati hujan ‘petro dollar’ khususnya dari Negara timur tengah.

Hingga saat ini, Indonesia sebagai Negara muslim terbanyak populasinya di dunia, masih menjadi rujukan didalam impelemntasi industry keuangan syariah setelah Iran, UK, dan Negara tetangga Malaysia. Bahkan beberapa dunia menilai Indonesia sangat layak dijadikan sebagai gerbang atau kiblat industry keuangan syariah dunia dikarnakan berbagai keunikan Indonesia dalam mengimpelemntasikan produk-produk yang sesuai dengan syariah. Ditambah lagi dengan keunikan Indonesia yang memiliki Dewan Syariah Nasional Majlis Ulama Indonesia (DSN-MUI) sebagai lembaga independent yang tidak terikat dengan institusi manapun yang diharapkan bebas dari konlik interest ketika mengesahkan sebuah produk dan fatwa yang ada. Hal ini berbeda dengan Negara timur tengah yang merujuk kepada salah seorang ulama untuk memberikan fatwa dalam hal keuangan syariah yang lebih kepada ijtihad individu dibandingkan ijtihad jama’i. sedangkan DSN-MUI lebih memilih ijtihad jama’I dibandingkan dengan ijtihad individu yang lebih menghasilkan pendapat yang lebih comprehensive dengan mempertimbangkan beberapa pertimbangan baik dari kalangan ulama, akademi, praktisi dan maslahat-maslahat lainnya yang dianggap dapat mendukung sah atau tidaknya fatwa tersebut yang diperkuat oleh dalil-dalil al-quran, al-sunnah dan pendapat-pendapat ulama terdahulu.

Dari beberapa industry keuangan syariah yang ada selain perbankan syariah, pasar modal syariah, pegadaian syariah, koperasi jasa keuangan syariah, industry asuransi syariah juga turut menunjukkan angka trend positif dalam perkembangannya. Jika industry perbankan syariah hanya mampu mencapai market share 4,2% (laporan quartal 3 Bank Indonesia) di akhir tahun 2012 ini, dengan 11 bank umum syariah dan 156 lebih BPR Syariah. Maka industry asuransi juga terus menunjukkan pertumbuhan perkembangan terbaiknya. Dari hanya memiliki 37 unit bisnis di tahun 2007, hingga tahun 2011 telah memiliki 46 lebih unit bisnis asuransi syariah yang akan terus bertambah di tahun depan dikarnakan sudah ada beberapa pemain baru yang sudah mendaftarkan diri di BAPEPAM-LK. Dari market share pun di akhir tahun 2012 ini, pertumbuhan asuransi syariah di Indonesia jika kita pandang dari market share nya, industry asuransi syariah telah menguasai 7,42% market share asuransi syariah dari total industry asuransi nasional secara keseluruhan dari yang hanya 3,82% di tahun kemarin. Artinya, perkembangan industry asuransi syariah sedikit lebih maju dibandingkan perkembangan industry perbankan syariah di tanah air yang sampai saat ini hanya mengusaai 4,2% dari total market share perbankan nasional. (lihat table 1.0 dan table 1.1)


Table 1.0

PELAKU USAHA ASURANSI DAN REASURANSI SYARIAH
No.
Keterangan / Description
TW II 2012
1.
Perusahaan Asuransi Jiwa Syariah
4*
2.
Perusahaan Asuransi Kerugian Syariah
2
3.
Unit Syariah Perusahaan Asuransi Jiwa
17
4.
Unit Syariah Perusahaan Asuransi Kerugian
20**
5.
Unit Syariah Perusahaan Reasuransi
3

TOTAL
46
*Termasuk PT Asuransi Jiwa Amanahjiwa Giri Artha
**Termasuk PT Asuransi Ekspor Indonesia dan PT Asuransi Jasa Raharja Putera

Table 1.1

MARKET SHARE KONTRIBUSI BRUTO (*)









(*) Belum termasuk PT Asuransi Jiwa Amanahjiwa Giri Artha, PT Asuransi Ekspor Indonesia, dan PT Asuransi Jasa Raharja Putera









Majunya pertumbuhan asuransi syariah yang ada saat ini, bukan tanpa hambatan dan rintangan, dari berbagai isu yang muncul yang menyudutkan usaha bisnis asuransi syariah dengan berbagai alasan melanggar takdir dan menyalahi takdir allah dikarnakan kurang fahamnya masyarakat mengenai konsep takaful, akan tetapi pertumbuhan ini tetap positif kedepannya. Akan tetapi, secara aplikasinya, ada beberapa isu yang muncul yang mungkin bisa dijadikan bahan untuk didiskusikan lebih lanjut dan ditelaah bagaimana fikih menyikapi hal ini ditambah dengan pendapat ulama dan kaidah-kaidah fikih penunjang untuk memberikan kesimpulan sebuah hokum yang mempunyai landasan yang kuat.

Kemajuan industri asuransi syariah ini juga diikuti oleh lembaga keuangan syariah lainnya seperti perbankan syariah, hingga saat ini market share bank syariah terus naik ke trend positif. Sampai saat ini bank syariah telah memiliki market share sebanyak 4,2% dari total market share perbankan nasional secara umum. Hal ini disebabkan oleh pertumbuhan perbankan syariah di bulan-bulan pada tahun 2012 ini rata-rata 40-45%, jika hal ini terus berlanjut sampai tahun 2015, maka target bank syariah untuk mencapat market share 10% bukan hal yang sulit lagi, hal ini juga sempat ditekankan oleh Bank Indonesia didalam presentasinya.
Selain itu, industry pasar modal juga memiliki peran penting, hingga saat ini, Indonesia telah memiliki ‘IHSG’ yang syariah, yang diberi nama ISSI (Indonesian shariah stock index). Hal ini di upayakan untuk memperkuat pasar modal syariah yang ada sehingga bias lebih kompetitif dibandingkan Negara-negara lainnya seperti Malaysia. Hingga saat ini, produk baru yang akan muncul adalah Islamic ETF yang akan diprakarsai oleh IPOT Syariah yang terus memberikan inovasi dalam produk investasi mereka didalam menggaet nasabah, baik itu nasabah besar bahkan sampai retail sekalipun. Hal ini tergambar dari penyediaan produk investasi mulai dari Rp 100 ribu rupiah saja, masyarakat sudah dapat investasi ke pasar modal syariah.

Di Islamic money market, komoditi syariah juga telah diluncurkan ditahun kemarin, meskipun hingga saat ini produk ini masih belum maksimal di manfaatkan oleh perbankan syariah yang ada dikarnakan banyak pertimbangan bisnis. Akan tetapi secara umum, ini adalah fase baru industry keuangan syariah di Indonesia dalam menuju sebagai kiblat industry keuangan syariah global.


Isu Aktual

Ada beberap isu actual yang sekarang mungkin bias dijadikan bahan diskusi yang kemudian bias ditelaah secara mendalam untuk dilihat bagaimana dari perspective syariah. Isu actual yang dimaksud adalah isu mengenai dana masbalah jika hal ini didalam industry asuransi syariah, yaitu dana haram yang didapatkan oleh perusahaan asuransi syariah berupa bunga dari bank konvensional akibat dari peletakan dana asuransi syariah di beberapa bank konvensional yang menjadi rekanan bisnis asuransi syariah tersebut. Sebagai sebuah reciprocal bisnis, maka asuransi syariah meletakkan dana nya di bank konvensional, dan dari peletakan dana tersebut ada bunga yang dihasilkan dikarnakan beberapa pertimbangan waktu itu, maka hasil dari bunga tersebut menjadi bahan diskusi harus dikemanakan.

Atau isu unjust profit didalam perbankan syariah, adalah profit yang dihasilkan dari hal-hal yang tidak dibenarkan oleh bank syariah untuk mengklaimnya sebagai profit perusahaan, contohnya adalah uang penalty yang diberikan nasabah pembiayaan yang molor dalam mengangsur bayaran bulanannya. Atau bias jadi income yang berasal dari investasi dipasar modal yang belum murni secara syariah seperti halnya investasi di hotel yang masih menjual makanan dan minuman haram. Pertanyaannya adalah, kemanakah dana tersebut harus dialokasikan.

Atau non-halal income di pasar modal syariah yang menggunakan instrument konvensional dalam melakukan transaksinya, baik itu sifatnya hedging pada instrument konvensional, atau investasi diperusahaan yang masih dipertanyakan kesyariahannya. Dari hasil investasi ini, menghasilkan sebuah income yang harus jelas dimekanan income dari hasil ini sehingga bias sesuai juga dengan konsep syariah yang ada.

Sebelum kita membahas lebih detail tentang bagaimana mengalokasikan dana non hala diatas, mungkin alangkah lebih baiknya kita melihat pendekatan fikih, bagaimana fikih tentang konsep harta yang haram tersebut, masuk dalam kategori apa didalam syariah harta-harta yang seperti ini, apakah haram secara zat ataukah haram secara mendapatkannya. Sehingga dalam memutuskan sesuatu hal kedepan tidak terfokus pada perdebatan yang tidak sesuai dengan bahasan awal.

Maka dari itu, tulisan ini sebenarnya ingin mengajak kepada pembaca untuk membahas secara detail bagaimana fikih melihat persoalan ini secara mendalam sehingga bias sesuai dengan konsep dasar syariah.


Uang Haram dan Penghasilan Haram

Secara umum, harta yang kita peroleh bias klasifikasikan kepada tiga macam, yaitu halal, haram dan syubhat (tidak jelas apakah itu haram atau halal). Didalam paper ini akan khusus membahas harta haram atau penghasilan yang diperoleh dari jalan haram, baik itu haram dalam mekanismenya ataupun haram karna barang itu sendiri dilarang didalam al quran maupun al sunnah. Berikut klasifikasi harta haram dalam Islam:

1. Harta Haram karna Dzatnya,

Yaitu adalah harta yang haram karna pada dasarnya haram karna barang tersebut sudah haram dzatnya seperti babi, anjing, bangkai, khamr, dan Rokok. Dalam keadaan apapun, barang-barang diatas tetaplah haram meskipun diperoleh dengan cara yang halal, misalkan barang-barang diatas diperoleh dengan membelinya di supermarket dengan uang yang diperoleh dari hasil kerja keras kita selama sebulan penuh dikantor, atau barang-barang tersebut didapat dari hadiah dari seorang teman ataupun tetangga. Karna seperti apapun cara memperolehnya, ia hukumnya akan tetap haram karna pada dasarnya adalah haram. Atau bisa jadi uang dari hasil jual beli barang-barang diatas, meskipun transaksinya jual beli anatara uang dengan barang-barang diatas yang secara hukum syarat jual beli sudah sah karna rukun jual beli sudah ada semua disana yaitu penjual dan pembeli, sighah dan harga, ijab qobul dan barangnya ada, akan tetapi hal ini tidak diperbolehkan karna ia sudah haram dari zat nya, maka uang yang timbul dari transaksi diatas maka hukumnya haram karna ia telah melanggar aturan allah.

Sebagaimana sebuah kaidah fikih mengatakan:

“maa buniya ‘alal haram fahuwal haram”

apa yang dibangun atas dasar haram, maka ia akan menjadi haram karenanya


2. Harta haram karna cara meperolehnya.

Pada dasarnya, uang atau harta tersebut tidak bermasalah dari aspek syariah, karna hukumnya boleh, misalnya hukum uang kertas pada dasarnya diperbolehkan, akan tetapi jika uang tersebut didapat dari hasil mencuri atau korupsi, maka hukumnya adalah haram. Atau kita mendapatkan gaji dari kerja kita selama sebulan yang pada dasarnya uang itu adalah uang halal, akan tetapi kita meletakkannya di bank konvensional, maka hasil atau bunga dari peletakan dana tersebut adalah haram karna sudah memakai konsep riba yang dilaknat oleh allah dan rasulnya. Sama seperti halnya barang yang lain seperti tv, rumah, mobil, motor atau benda yang secara umum diperbolehkan dan di halalkan, akan tetapi jika cara mendapatkannya melanggar aturan allah seperti mencuri, hasil dari merampok, mencopet, maka hukumnya tidak diperbolehkan atau secara syariah hokum harta tersebut adalah haram.

Ada sebuah kaidah yang sangat baik sekali yang bisa dijadikan acuan, sebagaimana kaidah ini dipakai oleh beberapa ahli fikih, kaidah tersebut berbunyi:

“taghoyyuru asbaabul milk yunazzalu manzilatu teghoyyurul a’yaan”

“perubahaan metode memiliki sesuatu benda dihukumi sebagai perubahaan hukum dari benda tersebut.”

Pembahasan mengenai macam-macam harta haram ini supaya lebih jelas duduk pembahasannya kedepan agar tidak tumpang tindih apakah yang dimaksud dengan paper yang akan dibahas kedepan. Karna pada dasarnya, dana masbalah, unjust profit, atau non halal income yang ada di industry asuransi syariah, perbankan syariah dan pasar modal syariah masuk ke dalam kategori yang kedua. Tulisan ini juga akan memberikan penjelasa dasar kenapa tidak boleh memakan harta secara haram beserta dasarnya dari al quran dan al sunnah. Serta jika harta ini sudah didapatkan dengan kondisi ingin bertaubat, maka akan dikemanakan harta tersebut, tulisan ini akan mengurai lebih dalam lagi mengenai persoalan diatas.


Dasar Larangan Memakan Harta Haram

Ada banyak dalil baik itu bersumber dari al quran maupun assunnah yang secara jelas mengatakan kita tidak boleh memakan harta dengan cara yang bathil dalam memperolehnya. Baik itu akibat dari zat harta / barang tersebut haram ataupun cara yang memperolehnya haram. Dalil berikut sebagaimana yang pernah dikutip oleh Dr Ahmad Zain An Najah dalam websitenya www.ahmadzein.com.

Pertama : Dalil al Quran
Firman Allah swt :
يا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ وَلا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيماً
“ Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (Qs. an-Nisa’ : 29 )
Maksud ayat diatas adalah sebuah perdagangan yang didasarkan saling ridha antara penjual dan pembeli tanpa ada satu paksaan sedikitpun. Akan tetapi ayat ini masih umum, artinya tidaklah boleh kita melakukan transaksi secara ridha kalau misalnya transaksi tersebut mekanismenya sudah dilarang secara qhot’I didalam al aquran seperti hal nya larangan riba, maysir dan gharar. Meskipun transaksi antara pelaku riba, maysir dan gharar saling ridha satu sama lain, maka hal ini tidak bias disahkan secara hokum syariah karna sudah di khususkan (thakhsish al’umum) dengan ayat larangan didalam al quran dan al sunnah mengenai tiga hal tersebut.
Kedua : al Sunnah
Hadist Abdullah bin Umar ra, bahwasanya Rasulullah saw bersabda :
لَا تُقْبَلُ صَلَاةٌ بِغَيْرِ طُهُورٍ وَلَا صَدَقَةٌ مِنْ غُلُولٍ
“ Tidak diterima shalat tanpa bersuci, dan tidak diterima sedekah dari hasil penggelapan harta ghanimah. “ ( HR Muslim, no :  329 )
Hadist Abu Hurairah ra, bahwasanya ia berkata :
ثم ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ يَا رَبِّ يَا رَبِّ وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ وَغُذِيَ بِالْحَرَامِ فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ
“ Kemudian Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menceritakan tentang seroang laki-laki yang telah lama berjalan karena jauhnya jarak yang ditempuhnya. Sehingga rambutnya kusut, masai dan berdebu. Orang itu mengangkat tangannya ke langit seraya berdo'a: "Wahai Tuhanku, wahai Tuhanku." Padahal, makanannya dari barang yang haram, minumannya dari yang haram, pakaiannya dari yang haram dan diberi makan dengan makanan yang haram, maka bagaimanakah Allah akan memperkenankan do'anya?." ( HR Muslim, no : 1686 )
Kisah Mughirah bin Syu’bah  :
وَكَانَ الْمُغِيرَةُ صَحِبَ قَوْمًا فِي الْجَاهِلِيَّةِ فَقَتَلَهُمْ وَأَخَذَ أَمْوَالَهُمْ ثُمَّ جَاءَ فَأَسْلَمَ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَّا الْإِسْلَامَ فَأَقْبَلُ وَأَمَّا الْمَالَ فَلَسْتُ مِنْهُ فِي شَيْءٍ
“Dahulu Al Mughirah di masa jahiliyah pernah menemani suatu kaum, lalu dia membunuh dan mengambil harta mereka. Kemudian dia datang dan masuk Islam. Maka Nabi saw berkata saat itu: "Adapun keIslaman maka aku terima. Sedangkan mengenai harta, aku tidak ada sangkut pautnya sedikitpun" (HR Bukhari No : 2529)
Intinya, pada dasarnya islam sangat melarang umat muslim untuk memakan harta secara bathil dan melanggar aturan allah. Karna memasukkan harta haram ke dalam tubuh kita dan kedalam rumah kita bisa menyebabkan barokah tidak akan turun kepada kita.

Pendapat Ulama Mengenai Dana Masbalah, Unjust Profit atau Non Halal Income (Harta yang di Peroleh dari Hasil Haram, termasuk Bunga Bank dan Sumber lainnya yang Tidak Di Benarkan Syariah)
Dalam hal ini, mungkin kita akan banyak bertanya, jika harta ini sudah kita dapatkan, lalu harus dikemanakan? Apakah dibiarkan saja, dibakar, atau digunakan untuk sesautu yang lebih bermanfaat bagi umat?
Ada beberapa pendapat Ulama mengenai hal ini diantaranya Prof. DR. Sa’d bin Turki al Khotslan hafidzohulloh dari fakultas Syari’ah Univ. Imam Su’ud, Riyadh – KSA, beliau juga wakil ketua pengurus harian yayasan fikih Saudi Arabia) beliau sempat menyampaikan ini dalam dauroh Masjid Jami’ Ibnu Taimiyyah diRiyadh dengan judul “ Fiqih Mu’amalah Maliyyah Mu’ashiroh ”. Ada beberapa kemungkinan yang terjadi dalam hal ini;
Pertama, jika harta riba tersebut ingin ia jadikan sebagai harta milik dan hendak ia pergunakan untuk dirinya, maka ini tidak dibenarkan dalam ajaran islam karna itu adalah harta haram dalam memperolehnya dimana kita sebagai muslim tidak mempunya hak didalamnya, karna hak kita didalam bermuamalah dengan riba jika ingin bertaubat, hanya mengambil pokoknya, tidak termasuk dengan bunga nya. Sama seperti halnya ketika dana masbalah ini ingin di akui oleh industry keuangan syariah sebagai sebuah income, maka hal ini sangat tidak dibenarkan secara syariah, karna pada dasarnya income tersebut bukan hak dari perusahaan keuangan syariah, karna didapatkan dari cara tidak halal. Artinya, cara pertama ini tidak tepat diambil karna pada dasarnya hasil dari usaha ini adalah haram.

Cara kedua, membiarkan bunga riba dan hasil muamalah ribawinya dibank konvensional tersebut dan tidak mengambilnya namun hanya mengambil harta pokoknya saja, sebagaimana anjuran didalam alqruan yang tertera didalam surat al-Baqarah  ayat 297:

“... Tetapi Jika kamu bertaubat, maka kamu berhak atas pokok hartamu, kamu tidak berbuat zhalim (merugi) dan tidak di zalimi (digurgikan).”

Artinya, bunga tersebut dibiarkan begitu saja dan lambat laun akan menjadi hak milik bank konvensional tersebut. Cara kedua ini juga tidak dapat diterima, karna pada dasarnya kita juga sudah memakmurkan system bunga di bank konvensional tersebut diawal, termasuk memberikan dana kepada mereka untuk terus beroperasi dengan system riba yang dilarang oleh allah dan rasulnya. Apabila kita merujuk kepada keterangan para ulama tentang harta hasil dari cara haram semisal pelacuran maka ternyata mereka menegaskan bahwa upah pelacuran adalah bukan hak pelacur berdasar sabda Nabi sholallohu ‘alaihi wasallam atau hadis Ibnu Mas’ud bahwa Nabi sholallohu ‘alaihi wasallam melarang upah jual beli anjing, upah pelacuran dan upah perdukunan, riwayat al Bukhoriy – Muslim.

Jika demikian tentu saja upah pelacuran tersebut bukan berarti dikembalikan kepada pengguna jasa pelacuran juga bukan hak milik pelacur. Karna menurut beliau (Prof Sa’ad bin Turki) hal ini sebenarnya membiarkan uang haram tersebut tetap dibank misalnya akan berakibat beberapa akibat buruk diantaranya : membantu pihak bank untuk tetap berlarut – larut dalam riba serta nekat padanya sebab hakekatnya seolah – olah orang tersebut memberikan modal tambahan bagi bank. Gambarkan saja jika seandainya ada banyak orang melakukan hal itu! ditambah lagi seorang muslim akan dimintai pertanggungan jawab atas perbuatannya yang menjadi sebab munculnya keharaman, ia akan ditanya akan hal ini. Terlebih lagi sebenarnya ia meninggalkan uang riba tersebut tetap bank tidak lain hanyalah pelarian dimana dia ini sebelumnya telah terjatuh dalam kekeliruan dan ia menerima uang haram kemudian riba tersebut ia biarkan tetap dibank, tidak lain ini hanyalah pelarian yang tidak akan membebaskan dia dari pertanggungan jawab sebab dialah orangnya yang menjadi sebab adanya uang haram tersebut. Kemudian juga bahwa bank bukanlah sebagai pemilik yang sah atas bunga riba tersebut baik ditinjau dari aturan perbankan atau tinjauan syar’i maka tidak ada dasar jika bunga riba tersebut tetap dibiarkan dibank? Apabila kita sudah mengetahui bahwa jalan keluar pertama tidak dapat diterima maka demikian halnya dengan jalan keluar kedua ini bukanlah cara yang tepat. Sama halnya jika hal ini terjadi di industry keuangan syariah yang secara sengaja atau tidak sengaja menginvestasikan dananya di industry konvensional, maka hasil dari investasi tersebut tidak boleh dibiarkan begitu saja, karna dana tersebut dapat digunakan oleh industry keuangan syariah untuk hal yang lebih bermanfaat lagi. Jika dibiarkan begitu saja maka hal ini bukanlah cara yang tepat.

Bahkan Dr Yusuf Qardhawi menyebutkan didalam bukunya ‘Hadal Islam Fataawa Mu’asharah’ tahun 2001 yang diterbitkan oleh Darul-Qalam Kuwait, bahwasanya membiarkan bunga bank untuk dimanfaatkan oleh bank itu sendiri adalah sama dengan menghilangkan jatah atau kesempatan bagi fakir miskin dan lembaga-lembaga social Islam lainnya untuk memanfaatkan dana tersebut. Bahkan bisa berarti dimanfaatkan oleh non muslim. Hal ini terbukti dengan aktifnya bank bank barat menyumbang untuk kegiatan nasrani dan yahudi. Atau bahkan kepada para misionaris dan zionis beserta sekutunya yang mungkin saja digunakan untuk membeli senjata peperangan untuk memerangi kaum muslimin diberbagai Negara seperti Palestina, Thailand, Syiria, Iraq dan lain lain. Artinya jika harta ini tidak diambil maka harta tersebut akan digunakan untuk membeli senjata-senjata oleh musuh musuh islam untuk memerangi umat islam itu sendiri baik lewat serangan secara sembunyi maupun terang-terangan.

Bahkan disini Beliau menyindir kepada orang-orang yang membiarkan dana tersebut dengan kebohoan yang sangat akut sekali, padahal ada sesuatu hal yang lebih bermanfaat yang bias ia lakukan untuk kebutuhan yang lebih penting lagi yaitu kebutuhan umat islam secara keseluruhan. Karna jika harta itu dimanfaatkan oleh non muslim atau untuk kegiatan ribai lagi, allah berfirman:

“Barang siapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarrah (biji atom) pun, niscaya dia akan melihat balasannya.“ (al-Zalzalah:7)

“Sesungguhnya Allah tidak menganiaya seorangpun walaupun sebesar zarrah. Jika ada kebajikan sebesar zarrah, niscaya allah akan melipat gandakannya dan memberikan dari sisi-Nya pahala yang besar.” (an-Nisa’:40)

Meskipun pada dasarnya pemilik harta ini tidak dikatakan bersedekah sebagaimana ditekankan oleh sebagian ulama. Karna pada dasarnya harta diatas adalah harta haram, dan allah tidak menerima infaq dan sedekah dari harta haram, sebagaimana disebutkan didalam sebuah hadis shahih:

“Laa yaqbalullahu Shadaqah min Ghuluul”
“Allah tidak menerima sedekah dari hasil khianat.”


Cara yang ketiga adalah mengambil bunga ribanya tersebut namun tidak ia pergunakan untuk pribadi hanya saja ia musnahkan uang tersebut atau ia bakar atau dibuang kelautan misalnya. Jalan keluar ketiga ini juga tidak dapat diterima sebab ini merupakan bentuk penelantaran harta sia-sia, sementara seorang muslim dilarang dari menelantarkan hartanya dengan sia-sia. Jika kita mau merujuk kepada fikih prioritas (fikih awlawiyyat) yang dikarang oleh Dr Yusuf Qardhawi, disana disebutkan beberapa kaidah fikih didalam mengatasi beberapa persoalan, terutama ketika ada sesautu yang bermanfaat, maka kita ambil yg lebih bermanfaat diantaranya, jika bertemu antara manfaat dan melepaskan sesuatu kesulitan, maka menghilangkan kesulitan tersebut harus lah didahulukan.

Artinya cara dia berlepas diri dari riba dengan mengambilnya dari bank kemudian ia memusnahkannya adalah jalan keluar yang tidak dapat diterima terlebih kadang – kadang jumlahnya besar mencapai jutaan bahkan milyaran yang bisa digunakan untuk kepentingan umum dan umat secara lebih besar lagi.

Cara yang keempat adalah mengambil uang hasil riba tersebut dari bank konvensional, kemudian di sedekahkan keberbagai bentuk amal kebajikan yang berguna untuk kepentingan umum. Inilah dia jalan keluar yang wajib ditempuh namun disini kita wajib memberikan keterangan bahwa niat orang tersebut dalam sedekahnya hanyalah ingin berlepas diri dari harta haram tersebut bukan dengan niat ingin ibadah sebab Allah adalah at Thoyyib (maha baik) tidak menerima kecuali yang thoyyib (baik).

Maka dari itu, jika kita lihat dari tiga pendapat sebelumnya, maka pendapat terakhir ini adalah cara lebih tepat didalam menyelesaikan persoalan ini. Karna ia lebih baik dan lebih bemanfaat dibandingkan tiga cara sebelumnya. Kebanyakan para ulama sepakat untuk melakukan hal keempat ini, akan tetapi mereka berbeda dalam hal bagaimana distribusinya, apakah digunakan untuk kepentingan umum atau kepentingan sekelompok saja, apakah digunakan untuk kepentingan yang tidak berkaitan dengan hal-hal yang agamis ataukan untuk kepentingan umum saja seperti yang tidak baik, seperti pembangunan toilet?

Secara global, para ulama' berbeda pendapat mengenai kemanah harus didistribusikan harta in, akan tetapi ini kita rangkum dalam dua pendapat.
Pendapat Pertama, mengatakah bahwasanya harta riba yang terlanjur didapatkan dari jalan yang haram harus diinfaqkan dalam kepentingan masyarakat umum dan yang tidak terhormat, semacam pembangunan jalan tol, jalan raya, jembatan, jamban umum membangun toilet, membangun rumah sakit di palestina misalnya atau membangun sarana transport umum. Karna pendapat pertama ini tidak membenarkan harta ini dipergunakan untuk membangun masjid, atau diberikan kepada faqir-miskin.


Pendapat kedua mengatakan bahwasanya harta riba seharusnya disalurkan pada kegiatan-kegiatan sosial, baik yang kegunaannya dirasakan oleh masyarakat umum, semisal pembangunan madrasah atau hanya dirasakan oleh sebagian orang saja. Misalnya dibagikan kepada fakir-miskin. Pendapat ini tidak menspesifikasikan kemana harus disedekahkan harta ini, selama itu dapat digunakan oleh masyarakat secara umum, maka hal ini sudah sesuai dengan aturan syariah. Karna pada dasarnya tidak ada dalil khusus yang membedakan antara amal sosial yang kegunaannya dirasakan oleh masyarakat umum dari yang manfaatnya hanya dirasakan oleh sebagian orang saja. Atau bahkan membedakan apakah ini digunakan untuk hal-hal yang tidak baik seperti untuk membangun jalan raya, ataukan untuk membangun masjid. Meskipun Dr Yusuf Qardhawi lebih memilih untuk membangun fasilitas umum yang tidak berkaitan langsung dengan amal sholeh seperti membangun masjid dan infak anak fakir-miskin.

Sedangkan menurut penulis, lebih memilih secara global yaitu penulis berpendapat selayaknya dana masbalah yang ada ini bisa digunakan untuk kepentingan public apakah itu dirasakan oleh sebagian masyarakat atau keseluruhan, ataukan digunakan untuk kepentingan yang terlihat baik seperti membangun masjid ataukah secara umum seperti digunakan untuk membangun toilet umum atau jalan raya atau bahkan rumah sakit.

Maka kesimpulannya adalah, dari beberapa cara dalam menggunakan harta haram tersebut atau didunia asuransi syariah disebut dengan dana masbalah, maka tiga jalan keluar pertama diatas tidak dapat dibenarkan karna sangat merugikan. Maka yang lebih tepat adalah cara yang keempat, ia mengambilnya dari bank kemudian ia salurkan keberbagai bentuk amal kebajikan dengan niat ingin berlepas diri, inilah jalan keluar satu-satunya yang mesti ditempuh. Tanpa membedakan apakah itu untuk kepentingan umum atau sebagian masyarakat saja, apakah untuk hal yang baik atau hal secara umum.

Hal ini juga dikuatkan oleh kaidah fikih mengenai pemindahan kepemilikan merupakan sebab berubahnya hukum barang. Sama halnya seperti jika kita memiliki uang haram lalu kita salurkan kepada orang fakir miskin artinya disini terjadi pemindahan kepemilikan sehingga uang haram tadi berubah menjadi halal ditangan sifakir padahal sebelumnya uang tersebut ditangan orang tersebut adalah uang haram. Termasuk perkara yang menunjukkan akan hal ini, bahwa seseorang terkadang bertransaksi dengan orang lain yang boleh jadi uang teman transaksi tersebut haram dari uang hasil mencuri misalnya.

Taruhlah jika kita membeli sebuah barang dari orang lain atau anda menjual barang kepada seseorang dan anda menerima uang pembayarannya sementara anda tidak mengetahui kalau ternyata uang itu adalah hasil mencuri misalkan maka dalam kondisi ini anda tidaklah berdosa atau bahkan uang pembayaran tadi adalah bunga riba misalnya sementara anda tidak mengetahuinya, jika kita haruskan atas setiap orang yang bertransaksi untuk meneliti sumber uang transaksi atau barangnya niscaya manusia akan dilanda kepayahan yang berat. Maka dari itu tidak mengapa orang yang ditangannya ada bunga riba tadi menyalurkannya kepada fakir miskin.

Termasuk pula perkara yang menunjukkan akan kaedah ini adalah andaikan seseorang ditangannya ada harta haram dari hasil cara yang haram kemudian ia meninggal maka hartanya termasuk harta haram tadi berpindah kepada pewarisnya dan menjadi mubah maka berubah hukumnya menjadi halal ditangan pewaris sebab kaedah (pemindahan kepemilikan merupakan sebab berubahnya hukum barang). Contohkan saja ada seseorang yang bermuamalah secara ribawi kemudian ia meninggal maka hartanya seluruhnya berubah menjadi mubah ditangan pewaris, ini merupakan pendapat mayoritas ulama. Disadur [dari www.taimiah.org]

Maka dari itu, kesimpulannya adalah, dana masbalah yang ada di asuransi syariah hendaklah diambil dan disalurkan kepada kegiatan yang bermanfaat bagi masyarakat khususnya masyarakat muslim.

Dasar Hukum
Hal ini dikuatkan juga oleh pendapat Dr Ahmad Zein Annajah dalam websitenya beliau merupakan lulusan doctor syariah dari Universitas Al Azhar Kairo Mesir, beliau memberikan perumpamaan bahwasanya jika harta haram tersebut berasal dari hasil keuntungan lokalisasi pelacuran, perjudian, penjualan khomr, gaji artis dari pengambilan foto atau film porno, hasil penjualan rokok, keuntungan bank konvensional yang menggunakan transaksi riba, bantuan asing, atau harta warisan dari orang yang mempunyai profesi di atas, serta profesi-profesi lain yang pada dasarnya adalah perbuatan haram, tetapi dilakukan secara suka rela antara kedua belah pihak atau lebih, selama hal itu tidak mengikat atau tidak bersyarat serta tidak ada unsur membantu kebatilan mereka, maka mayoritas ulama membolehkan untuk memanfaatkan uang tersebut untuk kemaslahatan kaum muslimin, seperti membangun jembatan, memperbaiki jalan, membeli mobil ambulan, membuat sumur, membuat tenda-tenda penampungan korban bencana alam dan lain-lain. Harta semacam ini termasuk dalam katagori “ hak Allah.”
Hal ini didasarkan pada dalil-dalil dibawah ini yang mengatur bagaimana sebagiknya kita menggunakan harta yang berasal dari uang riba tersebut dan uang hasil haram lainnya:
Pertama: dalil Al Quran
Firman Allah swt:
وَلاَ تَكْسِبُ كُلُّ نَفْسٍ إِلاَّ عَلَيْهَا وَلاَ تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى
“ Dan tidaklah seorang membuat dosa melainkan kemudharatannya kembali kepada dirinya sendiri; dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain.” ( Qs Al An’am : 164 )
Ayat di atas menunjukkan bahwa siapa saja yang bekerja pada sesuatu yang mengandung keharaman seperti di Bank Konvensional atau Asuransi Jiwa, atau perjudian yang menganut system riba, maysir dan gharar (yang mana pekerjaan tersebut adalah hasil kesepakatan antara mereka sendiri), maka dosanya akan dia tanggung sendiri, dan dosa ini tidak menular kepada orang lain. Artinya ketika harta tersebut diinfakkan atau disedekahkan, maka dosa dari orang yang mensedekahkan itu tidak akan mengalir kepada masyarakat yang menggunakan manfaat dari hasil aktifitas non halal tersebut misalnya digunakan untuk pembuatan jembatan, siapapun yang menggunakan jembatan tersebut tidak akan mengalir dosa orang yang melakukan hal tersebut.
Kedua: dalil dari Al Sunnah
Diriwayatkan dari Anas bin Malik, ra bahwasanya ia berkata :
أَنَّ يَهُودِيَّةً أَتَتْ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِشَاةٍ مَسْمُومَةٍ فَأَكَلَ مِنْهَا
“ Bahwasanya seorang wanita Yahudi datang memberikan hadiah kepada Nabi saw berupa seekor kambing yang telah dilumuri racun, lalu beliau memakannya.” ( HR Bukhari dan Muslim )
Ketiga: Pendapat Para Sahabat dan Pengikutnya
Sebagaimana kita ketahui bahwa kebanyakan orang Yahudi memakan harta haram seperti riba dan lain-lainnya, tetapi walaupun demikian Rasulullah saw menerima hadiah mereka. Bahkan hadiah itu berupa makanan.
Diriwayatkan bahwa Umar bin Khattab menerima jizyah ( upeti ) dari keuntungan penjualan khomr Ahli Kitab ( Abdur Razaq, al- Mushonaf, 8/198 )
Upeti yang diambil Umar dari harta haram tersebut menjadi kas negara dan nantinya digunakan untuk kepentingan kaum muslimin.
Diriwayatkan bahwa Ibnu Mas’ud pernah berkata : “Jika anda diajak makan oleh orang yang hartanya berasal dari riba, maka makanlah. “
Berkata Ibrahim an Nakh’i : “ Terimalah hadiah dari orang yang hartanya dari riba, selama anda tidak menyuruhnya atau membantunya “  ( Abdurrazaq, Mushonaf, 8/151 ) Hal serupa juga disampaikan oleh Salman Al Farisi.
Artinya jika dengan menerima hadiah tersebut tidak membantu kemungkarannya, maka boleh diterima, khususnya jika ada manfaatnya untuk kaum muslimin, sekaligus sebagai sarana dakwah dan ta’lif qulub (meluluhkan hati mereka agar masuk Islam ) .
Berkata Hasan Al Bashri : “ Sesungguh Allah telah menjelaskan kepada kalian bahwa Yahudi dan Nashara makan dari harta riba, walupun begitu dihalalkan bagi kalian makanan mereka “
Dari keterangan di atas, bisa kita simpulkan bahwa dana-dana bantuan korban bencana atau bantuan-bantuan lain dari pihak asing maupun dari artis manapun juga, selama itu menyangkut hak Allah dan tidak ada terkait dengan hak manusia, serta tidak mengikat, maka hukumnya boleh diterima dan dimanfaatkan untuk kemaslahatan kaum muslimin.
Kalau kita menolak bantuan tersebut juga tidak apa-apa. Hanya saja, dikhawatirkan akan mereka gunakan untuk memperkuat kebatilan mereka, atau membangun proyek – proyek kemaksiatan lainnya, bahkan justru dimanfaatkan untuk memerangi kaum muslimin. Sehingga secara tidak langsung, seakan-akan kita telah memperkuat dan membantu kebatilan mereka dengan mengembalikan harta tersebut, padahal hal itu dilarang oleh Allah swt, sebagaimana di dalam firman-Nya :
وَلاَ تَعَاوَنُواْ عَلَى الإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
“ Dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. “ (QS Al Maidah : 2)

jadi kita gunakan Harta tersebut untuk kebutuhan yang lebih banyak manfaatnya, maka kita termasuk orang-orang yang tolong menolong dalam kebaikan seperti halnya ayat ini dipakai sebagai dasar diperbolehkannya konsep Takaful atau biasa di kenal dengan konsep ‘asuransi syariah’.


Kesimpulan

Pertumbuhan industry keuangan syariah baik itu asurasni syariah, perbankan syariah, dan pasar modal syariah yang hingga saat ini terus menunjukkan angka positif selayaknya harus diikuti dengan masuknya nilai-nilai islam disetiap kebijakan dan keputusan, baik itu dari Dewan Syariah Nasional Majlis Ulama Indonesia, atau Regulator yaitu Bank Indonesia dan BAPEPAM-LK ataupun dari pelaku industry keuangan syariah itu sendiri. Sehingga tumbuhnya industry keuangan syariah ini betul-betul murni sesuai dengan nilai-nilai syariah yang berlaku tanpa harus mengorbankannya demi profit semata.

Dari uraian diatas dapat disimpulkan beberapa poin dibawah ini, antara lain;

Pertama, bahwasanya dana masbalah haruslah, unjust profit atau non halal income tersebut harus secepat mungkin didistribusikan untuk kepentingan public baik itu bersifat kepentingan umum ataupun kelompok umat muslim tertentu misalnya didistribusikan hanya kepada yayasan fakir miskin dibeberap tempat di Jakarta atau bahkan diseluruh Indonesia, atau bahkan digunakan untuk kepentingan umum seperti jalan raya yang mengalami kerusakan yang membutuhkan bantuan dari dana tersebut.

Kedua, haruslah diketahui bahwasanya dana tidak halal ini bukanlah hak perusahaan keuangan syariah, dikarnakan ini adalah hak allah, jadi lembaga keuangan syariah tidak berhak mengklaim hal ini sebagai profit atau asset mereka karna hal ini tidak dibenarkan secara syariah.

Ketiga, selayaknya industry keuangan syariah mengurangi hal-hal yang bersifat pelanggaran terhadap nilai nilai syariah seperti ikut nimbrung di produk konvensional atau bahkan memberikan pembiayaan yang pada dasarnya melanggar prinsip syariah.

Selain itu juga, lembaga keuangan syariah haruslah memiliki guidline khusus dalam GCG mereka sehingga tidak ada norma-norma syariah yang dilanggar. Wallahua’almi bisshawab


Penulis adalah Shariah Compliance Group PT Takaful Indonesia, Founder and CEO iIIF iMan Institute of Islamic Finance sebuah Lembaga Konsultan Keuangan Syariah (Asuransi, Perbankan, Pasar Modal, Pegadaian Syariah), pernah menjadi Faculty Member (Trainer) Keuangan Syariah di Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI). Beliau juga Aktif sebagai Sekretaris Ikatan Ahli Ekonomi Islam (DPP IAEI Pusat), selain itu, beliau juga Dosen Asurnasi Syariah, Perbankan Shariah dan Pasar Modal Shariah di Universitas Muhammadiyah Jakarta, Universitas Al Azhar Indonesia, UIN Jakarta, Pascasarjana Universitas Trisakti, Universitas Islam Az Zahrah, Konsultan Asuransi Shariah, Perbankan Shariah dan Pasar Modal Shariah Zakirah Group, Trainer Fikih Muamalah on Islamic Banking and Finance Di Iqtishad Consulting MES, R&D WakafPro99 Dompet Dhuafa Jawa Barat, Ph.D Islamic Banking and Finance (IIiBF) International Islamic University Malaysia. Selain itu, beliau juga sering diundang jadi pembicara baik itu dalam maupun luar negri.

Sumber: Majalah Sharing 2013 beberapa Edisi

Popular Posts