Monday, October 17, 2011

Komoditi Syariah Bursa Berjangka JFX dan Fatwa DSN No 82


Komoditi Murabahah, Tawarruq, Bay’ Al-Inah Dan Fatwa DSN-MUI No.82 Tentang Komoditi Syariah: Comperehensive Review
Oleh: H.M. Iman Sastra Mihajat, LC, PDIBF, MSc Fin


Seiring dengan perkembangan perbankan syariah akhir-akhir ini terus menunjukkan angka yang positif, produk-produk baru diharapkan terus bermunculan seiring dengan tingginya permintaan pasar. DSN-MUI sebagai lembaga independen pemberi fatwa terus diharapkan memberikan respon-respon yang positf sesuai dengan kemajuan perbankan syariah yang terus membaik. Meskipun Indonesia masih tertinggal dengan Negara-negara maju pencetus perbankan syariah, akan tetapi ada harapan yang besar disana bahwa DSN-MUI dan BI sangat berhati-hati dalam penetapan sebuah produk sehingga nantinya tidak terjadi produk-produk yang bermasalah dari segi syariah.
Salah satu yang menjadi topik hangat baru-baru ini adalah pengesahan Fatwa DSN-MUI No.82 mengenai bursa komoditi syariah. Dimana produk ini diharapkan menjadi pioneer dalam pengembangan produk dipasar bursa. Sehingga tuntutan-tuntutan yang telah terpendam lama akhirnya disahkan. Fatwa ini didasari oleh permintaan yang sangat banyak dari pihak industri perbankan syariah terutama untuk pengelolaan managemen risiko likuiditas mereka. Dimana sampai saat ini bank syariah yang notabene pangsa pasarnya masih relatif kecil, sangat kesulitan dalam mencari likuiditas untuk mencukupi kebutuhan uang tunai untuk memenuhi permintaan di sisi Liability. Sehingga sering kali mereka harus ‘mengemis’ kepada induk mereka untuk di suntikkan dana dan mungkin pernah pula harus meminta pembiayaan dari perbankan konvensional meskipun dengan akad syariah.
Fatwa DSN-MUI No.82 ini adalah solusi yang baik bagi indusrti perbankan syariah dalam pengelolaan manajemen likuiditas mereka. Sehingga ketika terjadi kelebihan dana ataupun kekurangan dana, mereka tidak perlu lagi khawatir karna sudah disediakan Bursa Komoditi Syariah yang memberikan wadah bagi mereka untuk bertransaksi. Di lain hal, bursan komoditi syariah ini diharapkan bisa memberikan efficiency cost yang tidak kalah dengan produk-produk konvensional, jika tidak, peresmian fatwa no 82 ini dan penciptaan produk komoditi syariah oleh Bursa Indonesia akan menjadi sia-sia dikarna sepi peminat.

Komoditi Murabahah
Konsep komoditi murabahah pada dasarnya sudah banyak dipraktekkan oleh Negara-negara yang menggunakan system perbankan syariah. Negara tetangga Malaysia misalnya, mereka telah dulu menetapkan konsep ini untuk merespon kebutuhan pasar local mereka maupun internasional. Sehingga pasaran luar bisa mengacu pada mereka dalam konsep komoditi murabahah. Sampai pada puncaknya, tahun 2010, Bursa Malaysia meluncurkan sebuah produk yang sangat dinanti-nanti oleh pasar yaitu Bursa Suq Al-Sila’. Produk ini diharapkan bisa menjadi instrumen yang menarik di industri keuangan syariah dalam pengelolaan risiko mereka terutama masalah likuiditas. Sampai-sampai produk ini telah diapprove oleh AAOIFI dan menyatakan bahwa produk ini adalah shariah compliant. Tidak hanya AAOIFI saja, produk ini telah diterima juga oleh pasar timur tengah yang notabene sangat strict dalam hal syariah. Jikalau produk ini bermasalah, tidak mungkin AAOIFI dan pasar perbankan syariah timur tengah menerimanya sebagai produk yang sesuai dengan syariah.
Oleh sebab itu, mungkin pelajaran di Bursan Suq Al-Sila’ bisa menjadi pelajaran penting bagi Bursa Komoditi Syariah dalam menerapkan transaksi. Meskipun ada permintaan di tahun kemarin dari Bursa Malaysia untuk menjual asset (CPO) yang ada di pasar Bursa Malaysia tidak sesuai dengan persediaan stock yang ada, akan tetapi hal ini tidak di izinkan oleh Shariah Advisory Council.

Tawarruq
Pada dasarnya, konsep yang diterapkan dalam Bursa Komoditi Syariah ini adalah Akad Tawarruq. Dimana si bank surplus mendapatkan pesanan dari bank deficit untuk membeli barang, sehingga bank surplus akan membeli komoditas dari market dengan tunai menggunakan akad al-bay’, lalu menjualnya kepada bank deficit dengan cara murabahah dengan bayaran tangguh atau cicilan. Lalu bank deficit akan menjual asset ini ke pasar komoditas dengan tujuan untuk mendapatkan tunai.
Inilah akad tawarruq yang biasa dikenal diindustri perbankan syariah timur tengah yang bisa mereka praktekkan tidak hanya untuk pengelolaan likuditias akan tetapi bisa juga di targetkan kepada individual untuk keperluan konsumtif. Akan tetapi tawarruq yang dipakai ditimur tengah banyak sekali menuai kecaman karna disana sudah diatur oleh pihak bank atau dikenal dengan organized tawarruq. Yang lebih parah lagi, dari research yang pernah dilakukan di eropa khususnya UK menerapkan konsep tawarruq dengan memakai asset China Metal yang sebenarnya ini tidak bernilai. Akan tetapi china metal ini berharga sangat tinggi dikarnakan dipakai untuk transaksi tawarruq.
Dari data yang dihimpun bahwasanya hanya 2.7% asset yang dipakai dikomoditi murabaha atau tawarruq itu masuk kepada end user. 97.3% digunakan untuk transaksi derivatives.
Dari aspek Fikih, sebenarnya ulama banyak menjelaskan berbagai macam konsep tawarruq. Dimana tidak semua tawarruq diharamkan, akan tetapi ada beberapa yang disepakati oleh ulama bahwa itu shariah compliant. Ulama kontemporer membagi tawarruq menjadi dua macam, pertama tawarruq munazzhom atau disebut dengan organized tawarruq, yang kedua adalah tawarruq fiqhi atau haqiqi. Konsep tawarruq pertama adalah akad tawarruq yang banyak digunakan oleh bank syariah di eropa dan timur tengah. Dikarnakan bank syariah ambil andil didalam menentukan lini penjualannya. Bank syariah menetapkan siapa broker pembelian dan kepada siapa si pembeli menjual kembali barang tersebut. Hal inilah yang dilarang dalam syariah karna saudaranya bay’ al-inah. Cuma menambahkan pihak ketiga.
Konsep tawarruq yang kedua adalah dimana bank syariah (surplus unit) betul –betul membeli barang itu dari market, dan menjualnya kepada konsumen yang memberlukan tanpa ada embel-embel untuk dijual kepada pihak manapun. Sehingga konsumen bebas dan punya hak dalam menentukan kepada siapa dia mau menjual asset tersebut. Sehingga tidak terjadi hilah ghairu syar’iyyah didalamnya yang menyebabkan produk ini tidak shariah compliance. Jiakalu hal ini yang ditetapkan oleh Bursan Komoditi Syariah, maka kita sudah bisa disebut dengan Shariah compliance product.

Bay’ Al-Inah
Bay’ Al-inah adalah sebuah akad dimana deficit unit memerlukan dana, lalu menjual asset yang dia miliki kepada surplus unit dengan cara cash, lalu surplus unit akan menjual kembali asset tersebut kepada pihak deficit unit dengan cara tangguh atau cicilan. Tujuannya adalah sama seperti tawarruq, dimana pihak deficit unit memerlukan dana tunai. Bisa jadi asset yang dipakai adalah asset deficit unit, atau asset yang dimiliki oleh surplus unit dalam hal ini bank syariah.
Meskipun kita sudah keluar dari bay’ al-inah dan menciptakan sebuah produk yang baru yang shariah compliant. Akan tetapi masih ada muncul usulan dari para praktisi untuk disahkannya bay’ al-inah. Padahal Negara tetangga kita Malaysia lambat laun telah meninggalkan akad ini karna telah mendapatkan tetnangan dari berbagai pihak. Apakah indonesia mau dicap Negara tidak shariah compliance di industri perbankan syariah padahal kita selalu membanggakan bahwasanya kita sangat hati-hati dalam pembuatan fatwa? Tentunya tidak dan jangan sampai predikat Shariah compliance ini terlepas dari kita.

Fatwa DSN-MUI No. 82
Difatwa ini telah dijelaskan bahwasanya Komoditi Murabahah telah disahkan oleh DSN-MUI dengan JFX pihak penyelenggara perdagangan bursa komoditi ini. JFX sebagai pihak perantara dari pihak yang mempunyai komoditas. Dan setelah itu menjadi pihak penjual komoditas kepada supplier dan dilaksanakan secara komputer dan online oleh pihak anggota Bursa Komoditi Syariah.
Ada beberapa akad yang digunakan dalam pelaksanaan fatwa no 82 ini; pertama adalah bay’, dimana  peserta komersial akan membeli komoditi dari supplier lalu supplier memenuhi permintaan sesuai dengan komoditi yang dinginkan lalu dijual kepada peserta komersial dengan cara tunai. Kedua, murabahah, dimana peserta komersial akan menjual asset ini atas permintaan konsumen komoditi dengan cara murabahah dimana ada kelebihan margin diatas pokok dengan cara tangguh atau cicilan. Ketiga, bay’ musawamah dimana supplier diwakilkan oleh JFX menjual barang ke peserta komersial tanpa berkewajiban memberitahukan berapa harga pokok dan margin. Keempat, wakalah, dimana JFX akan menjual asset tersebut jika perlukan oleh konsumen komoditi untuk menjualnya kepada supplier yang berbeda dari supplier awal. Kelima, akad muqorodhoh, dimana supplier satu bisa barter asset dengan supplier 2, ataupun ke supplier 3 dan sebaliknya. Supaya asset tersebut tidak kembali kepada orang yang sama.
Dari lima akad ini, sebenarnya ada satu akad lagi yang harus diperhatikan, yaitu Al-Wa’du. Atas perjanjian dimana ketika konsumen komoditi menginginkan komoditas kepada peserta komersial dengan tujuan mendapatkan uang tunai maupun menahan asset tersebut untuk dijual dimasa yang akan datang atau dijual ke selain peserta supplier dari Bursa komoditi syariah. Konsumen komoditi harus berjanji membeli barang yang dibeli oleh peserta komersial. Jikalau tidak, maka ketika komoditas tersebut sudah dibeli oleh peserta komersial lalu konsumen komoditi membatalkan transaksi tersebut. Maka akan terjadi permasalahan disana, bisa jadi asset yang dibeli oleh peserta komersial turun harga, pertanyaannya adalah, siapakah yang mau menanggung kerugian dari pembatalah transaksi ini? Oleh sebab itu, haruslah ada akad Al-Wa’du disana sehingga konsumen komoditi berjanji akan membeli komoditi tersebut dari peserta komersial.

Parameter Dalam Pelaksanaan Bursan Komoditi Syariah
Ketika telah dibuat sebuah fatwa, maka harus ada parameter yang membatasi transaksi Komoditi Murabaha Syariah ini. Supaya tidak terjadi misuse dalam penggunaan produk yang menyebabkan produk ini menjadi tidak shariah compliance.
Pertama; harus ditekankan bahwasanya transaksi Komoditi Murabahah Syariah ini hanya boleh digunakan untuk Pengelolaan Likuiditas Bank Syariah. Sehingga produk ini tidak lari kepada produk konsumen dan bahkan untuk keperluan spekulasi dan mencari keuntungan. Sehingga nantinya bank syariah tidak focus untuk membesarkan sector riil dikarnakan lebih focus kepada pencarian keuntungan semata.
Kedua; transaksi in harus real, bukan ficticious contract. Maksudnya adalah ketika transaksi ini terjadi harusnya benar-benar terjadi transaksi barang pada umumnya, keinginan seller untuk menjual, dan keinginan buyer untuk membeli dengan barang yang sudah jelas wujudnya. Kalau tidak, kita akan terperangkap dalam konsep tawarruq yang sudah diaplikasikan oleh banyak bank syariah baik itu dinegara tetangga maupun dibelahan dunia lainnya baik itu timur tengah ataupun eropa.
Ketiga; harus ada perpindahan kepemilikan (transfer of ownership). Hal ini juga menjadi perhatian penting ketika terjadi sebuah transaksi terutama transaksi komoditi syariah. Komoditi yang menjadi objek perdagangan harus betul-betul berpindah kepemilikan dari penjual kepada pembeli tanpa ada embel-embel apapun. Jika tidak, kita akan terjebak kepada konsep bay’ al-inah dimana disana tidak terjadinya perpindahan kepemilikan dan implikasinya si pembeli harus menjual kembali barang itu dengan harga yang lebih rendah untuk mendapatkan uang tunai.
Keempat; bisa dikirim ke pembeli jika di inginkan. Hal ini untuk menyatakan bahwasanya komoditi yang ditransaksikan dikomoditi syariah ini adalah barangnya ril dan berwujud, ada perpindahan kepemilikan yang jelas, maka dari itu jika ini betul, maka ketika terjadi permintaan dari pembeli untuk mengirimkan komoditi tersebut ke tempat yang dia inginkan. Maka kewajiban penjual adalah mengantarkan komoditi tersebut ke pembeli dengan ketentuan yang berlaku, baik itu berapa hari komoditi ini bisa sampai ke tangan pembeli, dan berapa cost yang dikenakan kepada pembeli. Dalam diskusi dengan JFX mereka menyebutkan bahwasanya pengiriman komoditi akan memakan waktu lima hari akan tetapi belum menyebutkan berapa cost yang harus ditanggung apakah hitungannya per Kg ataukah per barrel dan sebagainya. Semoga hal ini sudah menjadi bahan presentasi pihak JFX yang kemarin belum sempat disampaikan.
Kelima; barangnya harus bernilai sesuai dengan harga pasar. Hal ini sangatlah penting, karna kita tidak menginginkan konsep tawarruq yang ada diluar diterapkan di Negara kita tercinta ini yang notabene paling syariah dari aspek shariah compliance sebuah produk. Jika tidak, kita hanya memperdagangkan sesuatu asset yang mana nilainya tidak sesuai dengan harga pasar masa itu. Meskipun kita juga bisa memakai supply dan demand dari komoditi tersebut, akan tetapi ini harus dilandaskan dengan penghargaan yang jelas.
Keenam; lokasi komoditi nya harus diketahui. Poin ini juga sangat penting, karna kita tidak mungkin memperdagangkan sesuatu yang kita tidak tau dimana letak barang itu. Hal ini mungkin harus diawasi oleh dewan pengawas syariah JFX dan memastikan bahwasanya barang tersebut ada di kota A, bertempat di pabrik B, kecamatan C di kilang X. dikarnakan, dalam pengesahan Bursa Suq al-Sila’ mereka memastikan dulu lokasi CPO-CPO yang akan diperdagangkan di Bursa Malaysia dan berapa banyaknya, baru boleh diperdagangkan secara online.
Ketujuh; barangnya harus halal dan boleh menurut undang-undang. Hal ini juga telah menjadi poin utama di fatwa DSN No. 82 ketika mengesahkan fatwa ini, supaya tidak melanggar undang-undang Negara indonesia dan sesuai dengan syariah.
Kedelapan; harus jelas jenis, kualitas dan kuantitas yang diperdagangkan. Poin ini juga menjadi syarat utama dalam fatwa ini, dikarnakan untuk menghilangkan gharar dari sebuah transaski. Jikalau jenis, kualitas dan kuantitasnya diketahui, maka gharar ini akan berpindah dari gharar fakhish (gharar yang besar) menjadi gharar yasir (gharar yang kecil) yang diperbolehkan dalam syariah. Seperti layaknya pembolehan Bay’ Salam yang awalnya tidak boleh, akan tetapi dibolehkan dengan syarat sebagaimana disebutkan dalam hadis, salam dibolehkan asal jenis, kualitas dan kuantitasnya diketahui dan waktu pengirimannya ditetapkan.
Kesembilan; tidak boleh dipergunakan untuk keperluan individual. Hal ini untuk menghindari masuknya komoditi syariah ini kepada produk konsumen yang mana akan menyebabkan produk ini tidak dipakai sesuai pada kepentingannya. Jikalau masuk ke pembiayaan individual, takutnya praktek tawarruq atau komoditi murabahah yang ada  diluar akan di implementasikan di industri perbankan syariah indonesia.
Kesepuluh; komoditi yang diperdagangkan harus siap guna, bukan yang masih diolah. Ketentuan ini adalah untuk memastikan bahwasanya kita tidak memperdagangkan sesuatu yang tidak bisa digunakan oleh pembeli. Jangan sampai dalam transaksi komoditi syariah ini menjual sesuatu yang masih diolah sehingga akan menghambat pengiriman ketika sang pembeli menginginkan supaya komoditi ini dikirimkan kepadanya.

Penutup
Dengan hadirnya fatwa DSN-MUI No 82  ini diharapkan menjadi sebuah langkah baru bagi bank syariah untuk mengembangkan sayapnya lebih lebar lagi akan tetapi tetap pada koridor-koridor yang telah ditetapkan oleh syariah. Diharapkan dengan lahirnya fatwa baru ini, target bank syariah 5% bisa tercapai insya allah. Apalagi ditambah dengan peran penting bank syariah dalam mengedukasi publik dengan terus memberikan support disetiap acara-acara seminar yang bisa menambah wawasan masyarakat tentang bank syariah.
Disisi lain, dalam implementasi produk Bursa Berjanga Jakarta ini harusnya diawasi oleh orang-orang yang kredibel dari aspek syariah dan faham bagaimana bursa komoditi syariah berjalan. Terutama mereka-mereka yang telah mempunya pengalaman dalam hal perdagangan komoditi syariah. Sehingga kedepannya tidak kita temui lagi dewan pengawas syariah hanya memasang nama disana tanpa mempunya ilmu yang mumpuni. Sehingga pengawasan atas jalannya transaksi ini diserahkan penuh kepada BBJ atau JFX.
Maka dari itu, untuk mengoptimalkan peran Dewan Pengawas Syariah haruslah betul-betul diteliti background study dan pengalamannya sehingga orang percaya bahwasanya ini diawasi oleh orang-orang yang kompeten dibidangnya tanpa melihat nama besar akan tetapi kurang ahli di bidang ini. Wallahua’lamu bisshawab

Oleh: H.M. Iman Sastra Mihajat, LC, PDIBF, MSc Fin
Penulis adalah Dosen Perbankan Shariah dan Pasar Modal Shariah di Universitas Al Azhar Indonesia, Konsultan Asuransi Shariah, Perbankan Shariah dan Pasar Modal Shariah Zakirah Group, Trainer Fikih Muamalah on Islamic Banking and Finance Di Iqtishad Consulting MES, R&D WakafPro99 Dompet Dhuafa Jawa Barat, Kandidat Ph.D Islamci Banking and Finance (IIiBF) International Islamic University Malaysia.
Penulis juga Faculty Member (Trainer) Keuangan Syariah di Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI).

Sumber: Majalah Sharing Edisi September 2011

Popular Posts