Mencari Keadilan
HM Iman Sastra Mihajat LC PDIBF - suaraPembaca
Jakarta - Akhir-akhir ini masyarakat Indonesia sering dihebohkan oleh tingkah laku para penegak hukum di Indonesia yang 'terkesan' lebih mementingkan orang-orang yang mempunyai kekuasaan dan uang. Masyarakat sangat terusik dengan kejadian-kejadian yang menimpa masyarakat kecil. Palu hukum dengan mantapnya menindak mereka tanpa melihat berbagai faktor yang ada.
Sedangkan bagi koruptor mereka yang mempunyai uang dan kekuasaan palu hukum terlihat lamban menindaknya. Malah terkesan mengulur-ulur waktu untuk menghukum. Padahal di sisi lain bukti dan saksi sudah cukup jelas untuk menindak mereka. Lalu kenapa para penegak hukum lebih memilih untuk 'diam' daripada bertindak cepat menindaklanjuti bukti dan saksi yang sudah ada.
Nah, di sini muncul pertanyaan. Permasalahan dalam hukum yang ada di Indonesia sekarang ini apakah bersumber dari tidak memadainya sistem hukum kita ataukah bersumber dari manusia-manusianya yang kurang terdidik secara 'moral'. Di bawah ini saya akan beropini membandingkan bagaimana cara hukum Indonesia dan hukum syariah (Islam) dalam menyelesaikan kasus yang serupa.
Kasus Nenek Minah dengan Tiga Buah Kakau
Hukum Mencuri 3 Buah Kakao dalam Hukum Indonesia. Nenek minah (55) yang berasal dari Dusun sidoarjo Desa Darmakradenan, Kecamatan Ajibarang, Kabupaten Banyumas ini harus menghadapi masalah hukum hanya karena tiga buah kakao yang nilainya hanya Rp 2,000. Kejadian ini disebabkan karena dia mengambil 3 buah kakao milik PT RSA 4, dan perbuatan ini diketahui oleh mandor. Perbuatan itu pun dilaporkan kepada polisi.
Terhitung sejak 19 Oktober 2009 kasus pencurian kakao yang membelit nenek Minah telah ditangani pihak Kejaksaan Negeri Purwokerto. Dia didakwa telah mengambil barang milik orang lain tanpa izin. Yakni memetik tiga buah kakao seberat 3 kg dari kebun milik PT Rumpun Sari Antan 4. Berapa kerugian atas pencurian itu? Rp 30,000 menurut jaksa. Atau Rp 2,000 di pasaran.
Akibat perbuatannya itu Nenek Minah dijerat pasal 362 Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Dengan ancaman hukuman enam bulan penjara.
Hukum Mencuri 3 Buah Kakao dalam Hukum Islam. Dibandingkan dengan hukum Indonesia hukum Islam sangat berbeda dalam mengambil tindakan. Islam tidak serta merta menindak si pelaku pencurian, tapi melihat dulu, siapa yang mencuri (anak-anak, dewasa, orang tua, atau orang tidak waras)? Apa yang dicuri (barang berharga atau bukan)? Apakah sudah mencapai Had (batasan sang pencuri harus dihukum) ataukah belum?
Dalam hukum Islam, seseorang yang mencuri, maka hendaklah dipotong tangannya, sesuai dengan ayat yang tertera dalam Kitab Suci Al-Quran: "Pencuri lelaki dan pencuri perempuan hendaklah kamu potong tangannya sebagai balasan pekerjaan, dari siksaan daripada Allah, Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana" (Surah Al- Maidah ayat 38).
Akan tetapi, tidak semua pencuri dalam Islam dipotong tangannya. Harus mencapai had yang telah ditentukan sebagaimana sabda Rasulullah SAW sebagai penerang dari yang masih umum-dalam Al Quran (Tabyiinul Khusus) dalam Sabda Rasulullah SAW yaitu sebagai berikut: "Tidak dipotong tangan seseorang pencuri itu kecuali seperempat dinar atau lebih daripada nilai uang mas" (Riwayat Bukhari Muslim).
Satu dinar kurang lebih sama dengan 4,5 gram emas. Jadi, seperempat dinar nilainya sekitar 1,125 gram emas. Kalau dirupiahkan menjadi 1,125 x 353,000 = 397,125 rupiah. Jadi, untuk membawa Nenek Minah ke palu pengadilan masih jauh dari pantas. Maka hukum Islam menganjurkan untuk diselesaikan secara kekeluargaan, dengan memberika takzir kepada Nenek Minah.
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam kasus pencurian. Ciri-ciri, pertama, memindahkan secara bersembunyi harta alih dari jangkauan atau pemilikan tuannya. Kedua, pemindahan harta itu tanpa persetujuan tuannya. Ketiga, pemindahan harta itu dengan niat untuk menghilangkan harta tadi dari jangkauan atau pemilikan tuannya.
Selanjutnya hal yang harus diperhatikan adalah, "siapa?" Ada tiga pihak yang tidak dikenakan kasus, 1. Anak-anak, 2. Orang gila, 3. Orang yang di bawah paksaan. Sedangkan untuk kasus Nenek Minah, yang mencuri jauh dari had-nya. Tidak perlu dimejahijaukan. Akan tetapi cukup dengan tkazir atau peringatan.
Kasus Korupsi
Dalam kebanyakan kasus korupsi yang ada di Indonesia sedikit dari mereka yang dihukum berat. Padahal, mereka terbukti menyalahgunakan kekuasan dan wewenang. Dengan mencuri uang rakyat yang nilainya miliaran rupiah bahkan lebih. Akan tetapi palu hukum hanya memberi hukuman yang tidak menimbulkan efek jera kepada para koruptor ini. Ironis sekali.
Sedangkan Nenek Minah (55) yang hanya mencuri 3 buah kakao yang nilainya hanya Rp 2,000 bisa dihukum 1-6 bulan. Bagaimana kalau koruptor yang korupsi miliaran rupiah, dan membuat Negara ini menjadi collapse?
Seharusnya dihukum berlipat-lipat dari hukuman Nenek Minah. Puluhan tahun atau pun penjara seumur hidup. Itulah hukum yang setimpal untuk para koruptor yang membuat negara ini hancur. Dihukumnya para pejabat yang cuma 1-5 tahun, ini tidak akan memberikan efek jera sedikit pun. Baik bagi pelaku atau pun bagi para koruptor yang sedang beraksi.
Apalagi dengan masih berkeliarannya Anggoro dan Anggodo yang terungkap dalam rekaman yang dibuka oleh MK. Akan tetapi mereka masih berkeliaran dengan bebas dan tanpa ada aksi yang berarti dari para penegak hukum. Sedih memang sedih. Masyarakat sekarang pesimis dengan para penegak hukum. Jadi kepada siapa lagi mereka harus mengadu untuk menuntut keadilan.
Maka dari itu di sini saya ingin membandingkan bagaimana jika kita memakai hukum Islam. Dalam hukum Islam koruptor yang sudah terbukti mengambil uang rakyat, yang nilainya ratusan juta, bahkan miliaran atau lebih, itu sudah jelas hukumannya. Adalah dipotong tangannya. Memang keliatan sadis. Tapi, ini akan menimbulkan efek jera kepada pelaku maupun orang lain. Mereka akan berfikir beribu-ribu kali untuk mengkorupsi uang rakyat karena hukumannya tidak tanggung-tanggung.
Akan tetapi bila dibandingkan dengan hukum yang mereka terima akhir-akhir ini, para koruptor malah semakin berani, karena mereka berfikir hanya akan dihukum beberapa tahun, Tapi, setelah itu dia bisa menikmati masa tua dengan uang miliaran rupiah hasil korupsi mereka. Akibatnya, para penguasa berlomba-lomba untuk mencuri uang rakyat, karena nanti bisa bermain mata dengan para penegak hukum.
Masukan
Hukum Indonesia juga harus berkaca kepada bagaimana hukum Islam menindak para pencuri. Dimulai dari, pertama, berapa jumlah yang mereka curi, alasan mengapa mereka mencuri, dan siapa yang mencuri. Jika jumlah yang mereka curi hanya sebatas ribuan rupiah, maka tidak perlu hakim sampai turun tangan. Cukup diselesaikan dengan cara kekeluargaan saja. Apalagi jika hanya mencuri semangka dan pisang, yang nilainya hanya beberapa ribu rupiah.
Kedua, melihat dari aspek alasan orang tersebut mencuri, kalau seseorang hanya mencuri nasi bungkus untuk dimakan karma kelaparan, atau dia mencuri makanan tersebut untuk mempertahankan hidupnya, maka menurut hukum Islam orang ini tidak berhak diadili, karena masuk dalam kategori dharoruriyyat. Seorang muslim yang lapar, apalagi hanya untuk memenuhi kebutuhan perutnya untuk bertahan hidup, maka ia tidak perlu dihukum.
Ketiga, kita harus melihat juga, siapakah yang mencuri ini. Apakah masih anak-anak di bawah umur (baligh), orang dewasa, atau pun orang tua yang sudah renta. Hal ini harus dijadikan sebagai pertimbangan juga. Jika yang mencuri adalah anak kecil yang belum baligh maka ksusnya tidak perlu sampai ke pengadilan karna dia masih di bawah pengawasan orang tua sehingga hal ini bisa diselesaikan secara baik-baik.
Berbeda kalau hal ini dilakukan orang dewasa yang sudah mengerti akan baik-buruknya sebuah tindakan dan mengerti konsekuensinya. Demikian juga apabila sang pencuri ini orang gila atau pun mencuri karena paksaan atau pun ancaman maka ia tidak dapat diadili.
H.M. Iman Sastra Mihajat, LC, PDIBF
Master Student of Finance
Kulliyah of Economics and Management Sciences
International Islamic University Malaysia
(+60) 17 2542253
HM Iman Sastra Mihajat LC PDIBF - suaraPembaca
Sedangkan bagi koruptor mereka yang mempunyai uang dan kekuasaan palu hukum terlihat lamban menindaknya. Malah terkesan mengulur-ulur waktu untuk menghukum. Padahal di sisi lain bukti dan saksi sudah cukup jelas untuk menindak mereka. Lalu kenapa para penegak hukum lebih memilih untuk 'diam' daripada bertindak cepat menindaklanjuti bukti dan saksi yang sudah ada.
Nah, di sini muncul pertanyaan. Permasalahan dalam hukum yang ada di Indonesia sekarang ini apakah bersumber dari tidak memadainya sistem hukum kita ataukah bersumber dari manusia-manusianya yang kurang terdidik secara 'moral'. Di bawah ini saya akan beropini membandingkan bagaimana cara hukum Indonesia dan hukum syariah (Islam) dalam menyelesaikan kasus yang serupa.
Kasus Nenek Minah dengan Tiga Buah Kakau
Hukum Mencuri 3 Buah Kakao dalam Hukum Indonesia. Nenek minah (55) yang berasal dari Dusun sidoarjo Desa Darmakradenan, Kecamatan Ajibarang, Kabupaten Banyumas ini harus menghadapi masalah hukum hanya karena tiga buah kakao yang nilainya hanya Rp 2,000. Kejadian ini disebabkan karena dia mengambil 3 buah kakao milik PT RSA 4, dan perbuatan ini diketahui oleh mandor. Perbuatan itu pun dilaporkan kepada polisi.
Terhitung sejak 19 Oktober 2009 kasus pencurian kakao yang membelit nenek Minah telah ditangani pihak Kejaksaan Negeri Purwokerto. Dia didakwa telah mengambil barang milik orang lain tanpa izin. Yakni memetik tiga buah kakao seberat 3 kg dari kebun milik PT Rumpun Sari Antan 4. Berapa kerugian atas pencurian itu? Rp 30,000 menurut jaksa. Atau Rp 2,000 di pasaran.
Akibat perbuatannya itu Nenek Minah dijerat pasal 362 Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Dengan ancaman hukuman enam bulan penjara.
Hukum Mencuri 3 Buah Kakao dalam Hukum Islam. Dibandingkan dengan hukum Indonesia hukum Islam sangat berbeda dalam mengambil tindakan. Islam tidak serta merta menindak si pelaku pencurian, tapi melihat dulu, siapa yang mencuri (anak-anak, dewasa, orang tua, atau orang tidak waras)? Apa yang dicuri (barang berharga atau bukan)? Apakah sudah mencapai Had (batasan sang pencuri harus dihukum) ataukah belum?
Dalam hukum Islam, seseorang yang mencuri, maka hendaklah dipotong tangannya, sesuai dengan ayat yang tertera dalam Kitab Suci Al-Quran: "Pencuri lelaki dan pencuri perempuan hendaklah kamu potong tangannya sebagai balasan pekerjaan, dari siksaan daripada Allah, Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana" (Surah Al- Maidah ayat 38).
Akan tetapi, tidak semua pencuri dalam Islam dipotong tangannya. Harus mencapai had yang telah ditentukan sebagaimana sabda Rasulullah SAW sebagai penerang dari yang masih umum-dalam Al Quran (Tabyiinul Khusus) dalam Sabda Rasulullah SAW yaitu sebagai berikut: "Tidak dipotong tangan seseorang pencuri itu kecuali seperempat dinar atau lebih daripada nilai uang mas" (Riwayat Bukhari Muslim).
Satu dinar kurang lebih sama dengan 4,5 gram emas. Jadi, seperempat dinar nilainya sekitar 1,125 gram emas. Kalau dirupiahkan menjadi 1,125 x 353,000 = 397,125 rupiah. Jadi, untuk membawa Nenek Minah ke palu pengadilan masih jauh dari pantas. Maka hukum Islam menganjurkan untuk diselesaikan secara kekeluargaan, dengan memberika takzir kepada Nenek Minah.
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam kasus pencurian. Ciri-ciri, pertama, memindahkan secara bersembunyi harta alih dari jangkauan atau pemilikan tuannya. Kedua, pemindahan harta itu tanpa persetujuan tuannya. Ketiga, pemindahan harta itu dengan niat untuk menghilangkan harta tadi dari jangkauan atau pemilikan tuannya.
Selanjutnya hal yang harus diperhatikan adalah, "siapa?" Ada tiga pihak yang tidak dikenakan kasus, 1. Anak-anak, 2. Orang gila, 3. Orang yang di bawah paksaan. Sedangkan untuk kasus Nenek Minah, yang mencuri jauh dari had-nya. Tidak perlu dimejahijaukan. Akan tetapi cukup dengan tkazir atau peringatan.
Kasus Korupsi
Dalam kebanyakan kasus korupsi yang ada di Indonesia sedikit dari mereka yang dihukum berat. Padahal, mereka terbukti menyalahgunakan kekuasan dan wewenang. Dengan mencuri uang rakyat yang nilainya miliaran rupiah bahkan lebih. Akan tetapi palu hukum hanya memberi hukuman yang tidak menimbulkan efek jera kepada para koruptor ini. Ironis sekali.
Sedangkan Nenek Minah (55) yang hanya mencuri 3 buah kakao yang nilainya hanya Rp 2,000 bisa dihukum 1-6 bulan. Bagaimana kalau koruptor yang korupsi miliaran rupiah, dan membuat Negara ini menjadi collapse?
Seharusnya dihukum berlipat-lipat dari hukuman Nenek Minah. Puluhan tahun atau pun penjara seumur hidup. Itulah hukum yang setimpal untuk para koruptor yang membuat negara ini hancur. Dihukumnya para pejabat yang cuma 1-5 tahun, ini tidak akan memberikan efek jera sedikit pun. Baik bagi pelaku atau pun bagi para koruptor yang sedang beraksi.
Apalagi dengan masih berkeliarannya Anggoro dan Anggodo yang terungkap dalam rekaman yang dibuka oleh MK. Akan tetapi mereka masih berkeliaran dengan bebas dan tanpa ada aksi yang berarti dari para penegak hukum. Sedih memang sedih. Masyarakat sekarang pesimis dengan para penegak hukum. Jadi kepada siapa lagi mereka harus mengadu untuk menuntut keadilan.
Maka dari itu di sini saya ingin membandingkan bagaimana jika kita memakai hukum Islam. Dalam hukum Islam koruptor yang sudah terbukti mengambil uang rakyat, yang nilainya ratusan juta, bahkan miliaran atau lebih, itu sudah jelas hukumannya. Adalah dipotong tangannya. Memang keliatan sadis. Tapi, ini akan menimbulkan efek jera kepada pelaku maupun orang lain. Mereka akan berfikir beribu-ribu kali untuk mengkorupsi uang rakyat karena hukumannya tidak tanggung-tanggung.
Akan tetapi bila dibandingkan dengan hukum yang mereka terima akhir-akhir ini, para koruptor malah semakin berani, karena mereka berfikir hanya akan dihukum beberapa tahun, Tapi, setelah itu dia bisa menikmati masa tua dengan uang miliaran rupiah hasil korupsi mereka. Akibatnya, para penguasa berlomba-lomba untuk mencuri uang rakyat, karena nanti bisa bermain mata dengan para penegak hukum.
Masukan
Hukum Indonesia juga harus berkaca kepada bagaimana hukum Islam menindak para pencuri. Dimulai dari, pertama, berapa jumlah yang mereka curi, alasan mengapa mereka mencuri, dan siapa yang mencuri. Jika jumlah yang mereka curi hanya sebatas ribuan rupiah, maka tidak perlu hakim sampai turun tangan. Cukup diselesaikan dengan cara kekeluargaan saja. Apalagi jika hanya mencuri semangka dan pisang, yang nilainya hanya beberapa ribu rupiah.
Kedua, melihat dari aspek alasan orang tersebut mencuri, kalau seseorang hanya mencuri nasi bungkus untuk dimakan karma kelaparan, atau dia mencuri makanan tersebut untuk mempertahankan hidupnya, maka menurut hukum Islam orang ini tidak berhak diadili, karena masuk dalam kategori dharoruriyyat. Seorang muslim yang lapar, apalagi hanya untuk memenuhi kebutuhan perutnya untuk bertahan hidup, maka ia tidak perlu dihukum.
Ketiga, kita harus melihat juga, siapakah yang mencuri ini. Apakah masih anak-anak di bawah umur (baligh), orang dewasa, atau pun orang tua yang sudah renta. Hal ini harus dijadikan sebagai pertimbangan juga. Jika yang mencuri adalah anak kecil yang belum baligh maka ksusnya tidak perlu sampai ke pengadilan karna dia masih di bawah pengawasan orang tua sehingga hal ini bisa diselesaikan secara baik-baik.
Berbeda kalau hal ini dilakukan orang dewasa yang sudah mengerti akan baik-buruknya sebuah tindakan dan mengerti konsekuensinya. Demikian juga apabila sang pencuri ini orang gila atau pun mencuri karena paksaan atau pun ancaman maka ia tidak dapat diadili.
H.M. Iman Sastra Mihajat, LC, PDIBF
Master Student of Finance
Kulliyah of Economics and Management Sciences
International Islamic University Malaysia
(+60) 17 2542253