Syariah Parameters Dalam Penerapan ISLAMIC DERIVATIVE
H.M. Iman Sastra Mihajat, Lc, PDIBF, MSc Fin, PhD.c
(Faculty Member ICDIF-LPPI dan Sekretaris IAEI 2011-2015)
Seiring dengan pesatnya permintaan terhadap instrumen keuangan yang patuh terhadap prinsip-prinsip syariah baik itu datangnya dari individu maupun corporate, maka perlulah ada guidelines dan parameters disetiap produk yang ditawarkan khususnya produk-produk yang masih menjadi debatable dikalangan ulama modern. Salah satu instrumen tersebut adalah bagaimana para investor maupun korporasi yang ingin mengamankan posisi (hedging) mereka ketika melakukan sebuah transaksi dapat menggunakan instrumen yang sesuai syariah sehingga transaksi yang mereka lakukan tidak melanggar aturan agama. Dikarnakan jikalau instrumen ini tidak diberikan paramaters dan guidelines dikhawatirkan akan cuma menjadi produk konvensional yang diberikan nama syariah oleh para playersnya. Selain itu, produk ini dapat dijadikan tempat spekulasi dimana hal ini lumrah terjadi di instrumen keuangan konvensional.
Ada beberapa parameters yang perlu kita jadikan pertimbangan dalam penggunaan Islamic derivative sebagai sebuah tool untuk hedging mechanism seperti yang dilakukan oleh AAOIFI ketika menyebutkan sebuah produk yang masih debatable, dan hal ini dilakukan juga oleh DSN-MUI ketika mengesahkan Komoditi Syariah di Bursa Berjangka sehingga produk ini tidak disalah gunakan oleh perbankan syariah yang notabene lahirnya untuk investasi ke sector ril. Kemudian, hal ini juga di usulkan oleh pemerhati keuangan Syariah seperti Dr. Aznan Hasan dan Dr. Asyraf wajdi dusuki dalam tulisan mereka dengan tujuan untuk menghilangkan unsur maghrib (maysir, gharar dan riba) didalam instrumen tersebut.
Islamic Derivative untuk Hedging Mechanism
Mungkin banyak sekali yang menyayangkan kenapa Islamic derivative harus muncul dan digagas oleh beberapa shariah scholars dikarnakan tuntutan oleh beberapa investor besar dan korporasi yang sudah ngeh dengan produk syariah. Dikarnakan term derivative ini sudah memiliki image buruk dikalangan teman-teman yang sudah mengerti bagaimana buruknya derivative dalam menghancurkan system keuangan dikarnakan disetiap instrumen mereka menggunakan system membeli risiko dan memakain instrumen interest didalam setiap transaksinya.
Seperti contohnya di produk futures dan forwards, instrumen ini dilarang didalam syariah dikarnakan pertama, banyak sekali yang menggunakan instrumen ini untuk spekulasi bukan untuk membeli barang tersebut sebenarnya, maka dari itu di Islamic derivative harus diganti instrumen ini dengan bay’ al-salam dimana buyer betul-betul akan membeli produk ini bukan untuk spekulasi, yang kedua, permasalahan diproduk ini mereka mengakhirkan harga dan barang sekaligus dimana hal ini dilarang didalam syariah. Sebagaimana syariah melarang pengakhiran harga dan barang dalam satu waktu (laa yajuuzut ta’jil al badalain). Maka syariah mengisyaratkan untuk memakai konsep bay’ al-‘urbun dimana buyer yang akan membeli instrumen tersebut membayar uang muka tanda jadi yang ini akan masuk menjadi bagian dari harga barang tersebut. Ketiga permasalahannya adalah penggunaan interest (riba) didalam setiap transaksinya, maka syariah melarang memasukkan interest didalam instrumen ini dikarnakan mentreat uang sebagai komoditas, maka dari itu, haruslah dilihat dari barang akan akan dibeli. Hal ini bisa dilakukan di option juga baik itu call option ataupun put option.
Contoh lainnya adalah yang biasa digunakan adalah swap, dimana swap ini menurut Marshall dan Kapner di perkenalkan lebih awal dibandingkan produk derivative lainnya. Sebagaimana contohnya currency swap diperkenalkan di Amerika pada tahun 1970an. Menariknya, instrumen ini diterima baik oleh public pada saat itu dimana total transaksi swap naik lebih dari USD 700 milyar di tahun 1989 dengan total outstanding swap mencapai USD 4,6 triliun pada tahun 1992. Yang menarik lagi adalah menurut Bank of International Settlement, transaksi swap secara global mencapai lebih dari USD 415,2 triliun pada tahun 2006. Dimana perusahaan, bank, asuransi, dan institusi keuangan lainnya sangat merasakan manfaat dari instrumen ini khususnya untuk hedging dari volatilitas pasar keuangan. Akan tetapi yang menjadi isu syariah diswap ini adalah penggunaan interest didalamnya, spekulasi dan kadang-kadang yang diswap bukanlah instrumen yang sesuai atas syariah. Atau kadang mereka menswap sesuatu yang real dengan sesuatu yang tidak real seperti yang terjadi di credit default swap (CDS) dimana swap ini murni spekulasi dari investor (buyer).
Maka dari itu, dengan adanya Islamic swap nanti, haruslah menggunakan akad-akad yang sesuai dengan syariah dengan tujuan murni untuk hedging bukan untuk spekulasi.
Kenapa Islamic Derivative?
Meskipun proposal ini sempat ditolak mentah-mentah oleh mantan ketua AAOIFI syeikh Taqi Usmani, akan tetapi produk ini tetap diperlukan dikarnakan perusahaan dan investor besar memerlukan instrumen ini untuk menghedging posisi mereka. Jika tidak, maka transaksi yang dilakukan investor ini adalah spekulasi dimana mereka berspekulasi atas setiap transaksi mereka karna tanpa menggunakan hedging instrument.
Ada beberapa alasan Islamic derivative ini digunakan, sebagaimana derivative pada umumnya, yaitu bisa mengurangi biaya, jikalau misalnya dikhawatirkan harganya akan naik di tiga bulan kemudian, bisa mengakseske market yang lebih besar lagi dan bisa menjalankan transaksi sesuai dengan syariah.
Syariah Parameters dalam Islamic Derivative
Secara umum, ketika kita berbicara mengenai instrumen Islamic derivative, tujuan utama dari pengembangan instrumen ini tidak lain tidak bukan tidak jauh berbeda dengan kovensional yaitu hedging. Jika kita langsung memandang produk ini tidak bisa dilaksakan karna sama saja dengan conventional derivative, mungkin hal ini dinilai kurang tepat karna struktur yang kita tawarkan sangat berbeda dengan derivative di konvensional pada umumnya meskipun dari sisi nama sudah memiliki image yang tidak baik. Maka dari itu, menurut pendapat penulis pribadi, saya lebih melihat struktur akad tersebut dibandingkan dengan namanya. Meskipun ada beberapa ulama klasik maupun modern lebih melihat esensi dari namanya bukan strukturnya. Gagasan saya ini sependapat dengan imam hanafi dialam kumpulan hukum di bukunya Majallatul ahkam al-‘adliyah dimana beliau mengatakan, “al ‘ibroh fil ‘uqud lil maqosid wal ma’ani laa lil alfaz wal mabani”, yang maksudnya adalah, esesnsi sebuah akad itu harus dilihat dari maksud dan maknanya, bukan dilihat dari nama yang dibgunakan. Sebagaimana kaidah fikih mengatakan “al ‘ibroh lil musammayat laa bil asma’ “ yang maksudnya esensi sesuatu itu dilihat dari tujuannya bukan namanya.
Hybrid Contract di Islamic Derivative
Pada dasarnya, ketika kita berbicara masalah Islamic derivative, hal ini berkaitan dengan penggabungan beberapa akad didalam sebuah kontrak, atau penggabungan perjanjian didalam sebuah transaksi. Dimana kalau hal ini kita kaitkan ke konteks syariah, maka secara explicit penggabungan dua akad atau lebih didalam sebuah transaksi itu dilarang didalam hukum syariah.
Sebagaimana didalam sebuah hadits hasan di kitab al muwatto’ 2/ 657 dan 663, nay al awthor 5/152 menyebutkan, “Naha rasulullah s.a.w ‘an bay’atain fi bay’ah wa ‘an sofqotain fi sofqoh, wa ‘an bay’ wa salaf”. Di Hadits ini jelas sekali bahwasanya Rasulullah s.a.w melarang penggabungan dua akad didalam satu kontrak, penggabungan 2 transaksi didalam satu transaksi, begitujuga pelarangan penggabungan jual beli dengan hutang.
Jika kita mengikuti begitu saja larangan ini secara harfiyah, maka akan sulit kita mempraktekkan perbankan syariah dizaman modern ini. Karna pada umumnya, akad-akad transaksi di perbankan syariah saat ini gabungan dari dua akad atau lebih. Begitu juga di instrument Islamic derivative, akad yang biasa digunakan adalah tawarruq, bay’ al-urbun dan ak-wa’du. Secara otomatis sudah tidak sesuai dengan syariah.
Akan tetapi AAOIFI tahun 2007 telah memberikan resolusi No. 25 bahwasanya seluruh penggabungan akad ini diperbolehkan asalkan akad satu dengan akad lain terpisah (‘uqud mustaqillah), kecuali penggabungan akad jual beli dengan hutang. Selanjutnya AAOIFI memberikan peraturan penggabungan akad sebagai berikut:
1. Penggabungan akad tidak boleh menggabungkan akad yang telah jelas dilarang didalam syariah seperti penggabungan jual beli dan hutang didalam satu akad.
2. Penggabungan akad tidak boleh digunakan sebagai trick (hilah) untuk menghalalalkan riba atau bunga. Seperti perjanjian jual dan beli kembali (sale and buy back agreement) antara dua pihak (bay al-‘inah) atau riba fadhl.
3. Penggabungan akad tidak boleh digunakan sebagai alat untuk riba misalnya creditur meminjamkan uang supaya bisa mendapatkan hadiah dari debitur atau memberikan manfaat lainnya seperti tumpangan dan lain lain.
4. Penggabungan akad tidak boleh kontradiksi dengan esensi akad tersebut. Sebagai contoh, seperti di akad mudharabah, tidak boleh ada garansi profit dengan memakai akad hibah yang dijaminkan, atau penggabungan penukaran mata uang dengan jualah, atau bay al-salam dengan jualah.
Parameter diatas juga dilakukan oleh Shariah Advisory Council di beberapa keuangan syariah di dunia seperti, Kuwait Finance House, Calyon Global Islamic bank, DSN-MUI, HSBC, RHB Islamic bank. Sebagai contoh ketika meeting Shariah Advisory Council Kuwait Finance House No.23/2006 pada tanggal 19 September 2006 di Kuwait, pada saat mengevaluasi produk Ijarah Rental Swap dengan menggunakan akad wa`ad mulzim min taraf wahid (unilateral binding promise) pada transaksi musawamah dan tawarruq, mereka memberikan empat persyaratan supaya sesuai dengan syariah;
Pertama, perjanjian didalam transaksi tersebut haruslah real, betul-betul transaksi bukan akal-akalan. Maksudnya adalah ketika transaksi ini terjadi harusnya benar-benar terjadi transaksi barang pada umumnya, keinginan seller untuk menjual, dan keinginan buyer untuk membeli dengan barang yang sudah jelas wujudnya. Kalau tidak, kita akan terperangkap dalam konsep fictitious tawarruq yang sudah diaplikasikan oleh banyak bank syariah baik itu dinegara tetangga maupun dibelahan dunia lainnya baik itu timur tengah ataupun eropa. Karna dari data yang terkumpul, hanya 2.7% transaksi komoditi murabahah dan tawarruq betul-betul digunakan oleh end user, dan 97.3% digunakan untuk transaksi derivative oleh speculator.
Kedua, setiap perjanjian tersebut haruslah mempunyai efek masing-masing akad yang digunakan, seperti contoh, ketika terjadi jual beli, maka perpindahan hak milik haruslah terjadi.
Ketiga, akad satu dengan yang lainnya haruslah terpisah (uqud mustaqillah).
Keempat, akad ini tidak boleh mensyaratkan sesuatu hal antara pihak penjual dan pembeli,
Didalam transaksi Islamic Derivative ini, ada beberapa tambahan parameters yang harus kita perhatikan supaya Islamic Derivative ini sangat mencolok perbedaannya dengan konvensional. Contoh, didalam transaksi derivative, barang yang diperdagangkan sering tidak real dan kadang tidak jelas keberadaannya, karna pada dasarnya transaksi ini dibuat untuk spekulasi, maka dari itu, syariah tidak membolehkan untuk memperdagangkan barang yang tidak real seperti transaksi di index emas dimana emas yang diperdagangkan disini bukanlah mas yang sebenarnya akan tetapi hanya mengacu pada harga emas di dunia. Ketika terjadi claim dari pembeli ingin mengambil emas yang dia punya, ia hanya bisa mengklaim uangnya saja, bukan emas, karna emas hanya dibuat sebagai komoditi index saja, bukan emas yang sebenarnya.
Maka dari itu, tambahan parameter syariah selanjutnya adalah:
Kelima, barang yang diperdagangkan haruslah barang yang real, ada wujudnya.
keenam; harus ada perpindahan kepemilikan (transfer of ownership). Hal ini juga menjadi perhatian penting ketika terjadi sebuah transaksi terutama transaksi Islamic Derivative. Barang yang menjadi objek perdagangan harus betul-betul berpindah kepemilikan dari penjual kepada pembeli tanpa ada embel-embel apapun. Jika tidak, kita akan terjebak kepada konsep bay’ al-inah dimana disana tidak terjadinya perpindahan kepemilikan dan implikasinya si pembeli harus menjual kembali barang itu dengan harga yang lebih rendah untuk mendapatkan uang tunai.
Keempat; dapat diantarkan ke pembeli jika di inginkan. Hal ini untuk menyatakan bahwasanya barang yang ditransaksikan Islamic Derivative ini adalah barangnya ril dan berwujud, ada perpindahan kepemilikan yang jelas, maka dari itu jika ini betul, maka ketika terjadi permintaan dari pembeli untuk mengirimkan komoditi tersebut ke tempat yang dia inginkan. Maka kewajiban penjual adalah mengantarkan komoditi tersebut ke pembeli dengan ketentuan yang berlaku, baik itu berapa hari komoditi ini bisa sampai ke tangan pembeli, dan berapa cost yang dikenakan kepada pembeli.
Kelima; barangnya harus bernilai sesuai dengan harga pasar. Hal ini sangatlah penting, karna kita tidak menginginkan konsep Islamic Derivative yang ada diluar diterapkan di Negara kita tercinta ini yang notabene paling syariah dari aspek shariah compliance sebuah produk. Jika tidak, kita hanya memperdagangkan sesuatu asset yang mana nilainya tidak sesuai dengan harga pasar masa itu. Meskipun kita juga bisa memakai konsep supply dan demand, akan tetapi ini harus dilandaskan dengan pricing yang jelas.
Keenam; lokasi barang yang ditransaksikan harus diketahui. Poin ini juga sangat penting, karna kita tidak mungkin memperdagangkan sesuatu yang kita tidak tau dimana letak barang yang dimaksud. Hal ini mungkin harus diawasi oleh dewan pengawas syariah di perusahaan tersebut dan memastikan bahwasanya barang tersebut ada di kota A, bertempat di pabrik B, kecamatan C di kilang X. dikarnakan, dalam pengesahan setiap produk Islamic Derivative di beberapa Negara, Shariah Advisornya memastikan barang yang ditransaksikan jelas keberadaannya.
Ketujuh; barangnya harus halal dan boleh menurut undang-undang. Hal ini juga telah menjadi poin utama di fatwa DSN No. 82 ketika mengesahkan fatwa komdoiti syariah, supaya tidak melanggar undang-undang Negara indonesia dan sesuai dengan syariah.
Kedelapan; harus jelas jenis, kualitas dan kuantitas yang diperdagangkan. Poin ini untuk menghilangkan gharar dari sebuah transaski. Jikalau jenis, kualitas dan kuantitasnya diketahui, maka gharar ini akan berpindah dari gharar fakhish (ketidak pastian yang besar) menjadi gharar yasir (ketidak pastian yang kecil) yang diperbolehkan dalam syariah. Seperti layaknya pembolehan Bay’ Salam yang awalnya tidak dibolehkan, akan tetapi dibolehkan dengan syarat sebagaimana disebutkan dalam hadis, salam dibolehkan asal jenis, kualitas dan kuantitasnya diketahui dan waktu pengirimannya ditetapkan. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibn Abbas ketika rasulullah tiba di Madinah menemukan banyak masyarakat yang telah mempraktekkan jual beli forward (seperti salam) untuk buah-buahan dalam satu atau dua tahun. Lalu Rasulullah bersabda: Barang siapa yang bertransaksi salam kurma (untuk disampaikan nanti) haruslah mereka bersalam dengan jenis, kualitas dan kuantitas yang jelas dengan waktu yang jelas juga. (Bukhari, sahih, III, 234-44, hadith no. 441 dan 443)
Kesembilan; tidak boleh dipergunakan untuk keperluan short-selling. Hal ini untuk memastikan bahwasanya tidak ada issu menjual sesuatu akan tetapi penjual tidak memiliki barang tersebut, ataupun pembeli membeli barang tersebut dengan cara hutang.
Kesepuluh; barang yang diperdagangkan harus siap guna, bukan yang masih diolah. Ketentuan ini adalah untuk memastikan bahwasanya kita tidak memperdagangkan sesuatu yang tidak bisa digunakan oleh pembeli. Jangan sampai dalam transaksi Islamic Derivative ini menjual sesuatu yang masih diolah sehingga akan menghambat pengiriman ketika sang pembeli menginginkan barang tersebut dikirimkan kepadanya.
Peran Dewan Pengawas Syariah
Pengawas syariah sangat berperan penting dalam transaksi Islamic Derivative ini sehingga tidak melanggar prinsip-prinsip syariah. Karna peran dewan pengawas syariah disini sangat penting, maka dari itu perlulah dipilih orang-orang yang betul-betul memahami seluk beluk transaksi yang ada di Islamic Derivative dan menguasai fikih secara mendalam. Sehingga tidak terjadi hal-hal yang tidak di inginkan kedepannya dan menciptakan image lama terulang kembali dimana dewan pengawas syariah hanya digunakan sebagai pajangan dalam menghalalkan sebuah transaksi yang berbasis syariah.
Maka dari itu, perlu pengawasan ketat dan fit and proper test yang baik harus dilakukan kepada orang-orang yang akan menjadi dewan pengawas syariah di bursa komoditi syariah ini. Ada beberapa ilmu yang minimal harus dikuasai dewan pengawas syariah di bursa komoditi ini: pertama, harus mengetahui seluk beluk transaksi di bursa efek terutama Islamic Derivative. Apalagi jiakalau yang bersangkutan punya pengalaman dalam melakukan transaksi Islamic Derivative. Kedua, harus memahami fikih muamalah khususnya yang berkaitan dengan transaksi Islamic Derivative. Ketiga, harus mengetahui ilmu pasar modal syariah sehingga bisa terus mengecek kesyariahan produk ini. Keempat adalah yang tidak kalah penting yaitu mengetahui bahasa arab dan bahasa inggris, karna istilah-istilah yang digunakan dalam transaksi ini berdasarkan dari dua bahasa tersebut.
Penutup
Islamic Derivative adalah instrumen yang masih dibilang sangat baru di industri keuangan syariah di dunia, bahkan di Indonesia pun belum ada transaksi ini, maka dari itu perlu ada pengembangan lebih dalam kedepannya oleh pakar keuangan syariah. Disisi lain, produk ini jikalau kita lihat cuma dari nama yang tercantum saja tanpa melihat strukturnya lebih jelas, maka kita akan terjebak pengharaman sepihak tanpa melihat sisi syariahnya.
Kedepan, diharapkan ada masukan-masukan yang hangat untuk industri keuangan syariah terutama pengembangan produk, karna pada dasarnya Indonesia adalah Negara Investasi yang empuk bagi dunia umumnya dan timur tengah khususnya, tinggal mereka menunggu produk-produk dan instrumen unggulan yang dikeluarkan oleh Indonesia beserta undang-undang yang mendukung. Jika kita tidak merespon keinginan pasar yang besar ini, dikhawatirkan kita tidak bisa mengambil potensi pasar yang besar ini. Lebih khusus lagi, dua tahun kedepan kita akan menyongsong era baru industri keuangan syariah dibawah Otoritas Jasa Keuangan (OJK), yang mana haruslah ada masukan dan ide-ide segar yang digelontorkan, sehingga tidak mencegah pertumbuhan keuangan syariah kedepannya. Wallahua’alammu bisshawab
Penulis adalah Faculty Member (Trainer) Keuangan Syariah di Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI). Beliau juga Aktif sebagai Sekretaris Ikatan Ahli Ekonomi Islam (DPP IAEI Pusat), selain itu, beliau juga Dosen Perbankan Shariah dan Pasar Modal Shariah di Universitas Al Azhar Indonesia, Pascasarjana Universitas Trisakti, Universitas Islam Az Zahrah, Konsultan Asuransi Shariah, Perbankan Shariah dan Pasar Modal Shariah Zakirah Group, Trainer Fikih Muamalah on Islamic Banking and Finance Di Iqtishad Consulting MES, R&D WakafPro99 Dompet Dhuafa Jawa Barat, Kandidat Ph.D Islamci Banking and Finance (IIiBF) International Islamic University Malaysia. Selain itu, beliau juga sering diundang jadi pembicara baik itu dalam maupun luar negri.
Sumber: Majalah Sharing Edisi January 2012
No comments:
Post a Comment