Masa Depan Industri Keuangan Syariah di Era OJK
A New Proposal
Oleh: H.M. Iman Sastra Mihajat, Lc, PDIBF, MSc Fin, PhD.c
Faculty Member ICDIF-LPPI dan Sekretaris DPP IAEI
Menggeliatnya pertumbuhan perkembangan industri keuangan syariah akhir-akhir ini di tanah air adalah bukti bahwasanya konsep keuangan syariah lagi dilirik banyak kalangan dan diminati oleh semua golongan, tidak hanya yang beragama Islam akan tetapi diminati juga oleh agama lain. Sebagaimana logo dari Islam itu sendiri adalah kehadiran konsep Syariah adalah untuk memakmurkan makhluk dibumi ini dan sebagai rahmat bagi seluruh umat. Seringkali di beberapa kesempatan training keuangan syariah baik itu training asuransi syariah, perbankan syariah, pasar modal syariah dan lembaga keuangan syariah lainnya, pesertanya tidak hanya dari kalangan muslim, akan tetapi banyak sekali kita dapati non muslim yang sangat antusias untuk memahami konsep keuangan syariah itu sendiri, terlepas dari niat bisnis ataupun tidak, akan tetapi yang terpenting adalah, munculnya industri keuangan syariah telah menyita perhatian seluruh kalangan. Dan kebanyakn respon mereka setelah mendengar penjelasan tentang konsep syariah ini, mereka mengatakan bahwasanya, inilah konsep keuangan yang berkeadilan yang tidak hanya memihak pada pemodal besar, akan tetapi support kepada sector ril.
Di tengah-tengah pesatnya industri keuangan syariah akhir-akhir ini, kita dikejutkan dengan konsep baru di industri keuangan secara umum dengan lahirnya Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dengan disahkannya undang-undang ini oleh DPR pada oktober tahun 2011 kemarin. Meskipun disahkannya undang-undang ini banyak kalangan yang tidak terima dan menolak dikarnakan hal ini pernah dilakukan dibeberapa Negara lain seperti Jerman dan mengalami kegagalan. Penyebab utamanya adalah, dana yang didapat dari OJK ini adalah berupa sumbangan dari lembaga-lembaga keuangan di Negara tersebut yang dikhawatirkan menjadi industri basah dengan penyelewengan jika tidak di atur dengan baik.
Bahkan ada sebagian pihak yang mengatakan dengan adanya OJK ini, maka otoritas Bank Indonesia akan berkurang karna pada dasarnya yang biasanya mengawasi system perbankan saat ini adalah Bank Indonesia, akan tetapi otoritas tersebut saat ini dikurangi dengan dialihkannya otoritas ini kepada OJK. Akan tetapi, pemerintah sendiri mempersilahkan Bank Indonesia untuk melebur ke OJK sampai akhir tahun 2012 ini. Hingga saat ini, BI pun sudah mempersiapkan draft-draft aturan baru yang akan diusulkan dimasa OJK nanti.
Selain itu, BAPEPAM-LK sebagai lemabaga pemerintah yang mengawasai pasar modal, diharapkan bisa melebur juga dengan mempersiapkan diri dari sekarang untuk bergabung diakhir tahun ini, sehingga kolaborasi Bank Indonesia, BAPEPAM-LK dan professional lainnya diharapkan dapat mengatur industri keuangan di tanah air dan bisa berjalan lebih baik lagi dibandingkan dengan era sebelumnya.
Masa Depan Keuangan Syariah di Era OJK
Kalau kita lihat draft undang-undang OJK yang diusulkan, disana tidak mencantumkan detail bagaiman dengan keuangan syariah kedepannya. Sehingga banyak kalangan merasa khawatir, prospek industri keuangan syariah dimasa OJK nanti akan terhambat dengan kurangnya regulasi dan peraturan pemerintah yang mensupport industri keuangan syariah yang menyebabkan pertumbuhan keuangan syariah di tanah air menjadi lamban. Apalagi jika dewan komisioner OJK nanti dikhawatirkan diisi oleh pihak-pihak yang anti terhadap ‘keuangan syariah’. Dari kekhawatiran diatas, diharapkan pemerinta bisa mendapatkan masukan agar pihak pemerintah bisa menyeleksi betul-betul para pimpinan OJK nanti sehingga tidak menghambat lajunya pertumbuhan keuangan syariah yang sedang ‘bulan madu’.
Akan tetapi, disisi lain penulis melihatnya lain, bahwasanya di era OJK inilah saatnya yang tepat untuk industri keuangan syariah bisa melihatkan taringnya dikarnakan pengawasan seluruh lembaga keuangan syariah dibawahi oleh satu lembaga saja yaitu OJK. Berbeda dengan sebelumnya kalau kita lihat, industri perbankan syariah, Multi Finance Syariah, BPRS dibawahi oleh Bank Indonesia, sedangkan pasar modal dan sekuritas dibawahi oleh BAPEPAM-LK yang mana satu sama lain terpisah. Jika kita bandingkan dengan era OJK, seluruh lembaga keuangan syariah nanti akan dibawahi oleh OJK yang lebih fokus mengawasi dan bisa lebih tertata dengan baik. Sehingga lemabaga ini bisa menawarkan regulasi-regulasi yang baru yang sebelumnya tidak dimiliki baik itu oleh Bank Indonesia ataupun BAPEPAM-LK.
Salah satu yang penulis soroti adalah, instrumen-instrumen investasi syariah di indonesia hingga saat ini masih minim sekali. Padahal investor asing ingin sekali berinvestasi, akan tetapi dibatasi dengan instrumen yang menurut mereka masih kurang menarik untuk dipakai. Seperti ‘Islamic Structured Product’ misalnya, instrumen ini sedang hangat dibicarakan di industri keuangan syariah di internasional, akan tetapi faktanya kita tidak memiliki instrumen ini sehingga investor asing khususnya timur tengah masih menunggu gerak dari lemabaga keuangan syariah di indonesia untuk mengeluarkan produk ini. Bahkan Dubai 3 bulan kemarin telah mengeluarkan instrumen ini yang mereka beri nama dengan Al Islami Emerging Cappucino Certificate oleh Dubai Islamic Bank yang pada dasarnya ini adalah Islamic Structured Product. Instrumen lainnya seperti Islamic ETF, Islamic REITs dan lain lain. Instrumen lainnya juga bisa dikembangkan di perbankan syariah dan industri takaful (asuransi syariah) di indonesia yang bisa menarik perhatian investor luar untuk melebur ke tanah air.
A New Proposal (DPSN-OJK)
Meskipun banyak yang kurang menyetujui dengan disahkannya undang-undang OJK, akan tetapi menurut penulis sendiri ini adalah waktunya untuk Indonesia membuktikan kepada dunia bahwasanya perbankan syariah indonesia bisa menjadi pioneer dan trendsetter bagi industri keuangan syariah dunia. Tidak hanya itu, dengan adanya OJK ini dimana seluruh industri keuangan syariah dibawahi oleh satu institusi, diharapkan dapat lebih optimal pengembangannya dan bisa memproklamirkan diri sebagai International hub untuk keuangan syariah untuk Asian dan Middle East Countries (AMED). Sebagaimana logo ini juga diperkenalkan oleh International Centre for Development in Islamic Finance Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (ICDIF-LPPI). Tidak hanya itu, indonesia juga diharapkan bisa mencetak bankir-bankir syariah professional yang diakui oleh dunia dengan inovasi produk-produk syariah terbaru, baik itu di industri asuransi syariah, industri perbankan syariah, industri pasar modal syariah dan juga industri keuangan mikro syariah yang faktanya indonesia memiliki ribuan institusi keuangan mikro syariah seperti Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS), BMT yang tersebar diseluruh pelosok indonesia dan bank syariah pun memiliki produk mikro untuk memenuhi kebutuhan rakyat Indonesia yang notabene mayoritas pendapatannya rendah.
Dengan pesatnya pertumbuhan lembaga-lembaga keuangan syariah di tanah air baik itu berskala besar, menengah maupun kecil, prospek indonesia untuk menjadi cermin bagi kekuatan keuangan syariah global sudah terlihat. Maka dari itu, prospek ini jikalau tidak betul-betul dimanfaatkan maka kita sebagai bangsa yang besar akan selalu ketinggalan dengan Negara tetangga kita seperti Singapore dan Malaysia. Oleh karenanya potensi ini bisa kita ambil di momentum yang menurut pendapat penulis sangat tepat di aplikasikan di Era OJK nanti, sehingga mimpi kita untuk menjadi trendsetter industri keuangan syariah bisa menjadi nyata.
Salah satu usulan yang sangat menarik yang bisa kita usulkan untuk kemajuan industri keuangan syariah di masa OJK adalah dibentuknya Dewan Pengawas Syariah Nasional Otoritas Jasa Keuangan (DPSN-OJK). Dimana, hingga saat ini belum ada aturan pemerintah yang mengatur yang mengawasi Dewan Pengawas Syariah di setiap institusi keuangan syariah. Sehingga setiap produk perbankan syariah yang dikeluarkan oleh sebuah institusi tidak mendapatkan review dan koreksi dari ahli-ahli syariah yang diatasnya. Sampai saat ini, lembaga independen yang mendukung hanyalah DSN-MUI yang pada dasarnya tidak mempunyai kewenangan dalam mereview produk-produk syariah di pasaran apakah sudah sesuai dengan aturan syariah ataukah belum.
DPSN-OJK
Mungkin banyak yang bertanya, apa itu DPSN-OJK, apa bedanya dengan DPS dan DSN-MUI? Tentu tiga nama itu sangat berbeda sekali dan mereka mempunyai otoritas, kewajiban dan tanggung jawab masing-masing di bidangnya.
DPSN-OJK adalah dewan pengawas syariah nasional yang ada di lembaga Otoritas Jasa Keuangan seperti yang telah disahkan oleh DPR RI pada October 2011 kemarin. Dewan ini berada dibawah dewan komisioner OJK yang bertugas untuk mengawasi produk-produk keuangan syariah di indonesia yang telah beredar dipasaran. DPSN OJK berhak mereview produk-produk syariah yang telah beredar dan berhak memutuskan apakah produk tersebut bisa dilanjutkan untuk dipasarkan ataukah distop pemasarannya disebabkan oleh ketidak sesuaiannya terhadap syariah.
Dalam perannya dalam memajukan industri keuangan syariah, dewan ini bisa mengadakan meeting setiap minggunya dengan beberapa agenda pembahasan:
1. Mereview existing products yang ada di industri keuangan syariah baik itu yang ada di asuransi syariah, perbankan syariah, pasar modal syariah dan lembaga keuangan syariah lainnya sehingga peran indonesia sebagai pencetus ‘shariah-based product’ dapat dipertahankan. Keputusan sesuai atau tidaknya dengan prinsip shariah haruslah berdasarkan keputusan jamaa’i yaitu mendapatkan persetujuan dari 2/3 anggota Dewan Pengawas Syariah Nasional. (Ijtihad Jama’i)
2. Mereview produk-produk yang sudah sesuai dengan syariah akan tetapi dilihat kembali keberadaannya apakah dapat menghancurkan system ekonomi secara umum atau membunuh sector riil. Didalam produk ini DPSN-OJK dapat mengkaji ulang untuk meneruskan pemasaran produk ini di pasaran. Seperti yang terjadi di gadai emas perbankan syariah saat ini dikarnakan lebih mengarah ke spekulasi daripada investasi.
3. Membahas dan mendiskusikan produk-produk syariah yang di usulkan oleh lembaga keuangan syariah, apakah produk yang di proposed ini sudah sesuai dengan syariah atau tidak. Jika produk yang diusulkan tersebut produk yang sudah dipasarkan secara umum dan sudah sesuai dengan syariah, maka DPSN-OJK bisa mensahkannya dengan cepat. Akan tetapi jika produk itu dinilai baru dan juga memakai akad-akad yang baru, maka hal ini akan menjadi diskusi lama bagi DPSN-OJK karna keputusan sesuai dengan syariah atau tidaknya produk tersebut haruslah berdasarkan research dan istinbathul ahkam yang baik dan benar dengan mengacu pada dalil-dalil yang ada didalam syariah, baik itu dalil yang muttafaq fiiha (al-quran, hadits, ijma’ dan qiyas), ataupun dengan daru dalil yang mukhtalaf fiiha (istihsan, masalih mursalah, sadzzu dzariah, qoulus sahabi, syar’un man qoblana).
4. Mengusulkan produk-produk baru yang dinilai layak dipasarkan didasari dengan kebutuhan industri keuangan syariah nasional ataupun untuk pengembangan sayap industri keuangan syariah nasional agar bisa go internasional. Dimana dengan adanya produk tersebut, investor asing seperti timur tengah, asia, eropa bahkan afrika bisa masuk ke tanah air yang mana hal ini akan berimplikasi pada kedudukan indonesia yang bisa menjadi internasional hub in Islamic Finance.
5. Menjalin kerjasama dengan International Shariah Standard di berbagai belahan dunia seperti AAOIFI, IFSB, dan International Shariah Board sehingga dapat bertukar fikiran dan shariang idea dalam pengembangan industri keuangan nasional sehingga bisa menjadi International centre dan trendsetter dalam pengembangan industri keuangan syariah.
Dari lima tugas tersebut, mimpi indonesia untuk menjadikan industri keuangan syariah lebih besar lagi akan menjadi kenyataan. Dimana regulasi yang ada dimasa OJK nanti tersusun rapi dan teregulasi dengan baik. Tentunya harus mendapatkan dukungan juga dari pemerintah sehingga regulasi yang baik ini tidak sia-sia adanya.
Kalau kita lihat dari gambar 1. Disana terlihat jelas posisi DPSN-OJK langsung dibawah dewan komisioner yang mana merek mempunyai otoritas penuh dalam penetapan kesyariahan sebuah produk atau tidak. Bahkan saya bisa mengusulkan haruslah ada Peraturan Pemerintah (PP) khusus yang menjelaskan otoritas dari DPSN-OJK itu sendiri sehingga keputusan mereka tidak terganggu oleh pihak-pihak yang memiliki kepentingan.
Disini terlihat jelas DPSN-OJK membawahi departemen perbankan syariah, departemen asuransi syariah, departemen pasar modal syariah dan departemen lemabaga keuangan syariah lainnya. Disetiap departemen inilah yang akan mengurusi industri mereka masing-masing baik itu dari segi regulasi, pengembangan produk dan lain-lain yang berkaitan dengan itu. Jadi jika sebuah industri perbankan syariah misalnya ingin mengajukan sebuh produk, dia harus mengajukan proposal ke departemen perbankan syariah OJK, maka departemen ini akan mereview apakah layak untuk masuk ketingkat DPSN-OJK atau tidak. Jika layak, maka berkas ini akan diserahkan kepada DPSN-OJK untuk menindak lanjutinya didalam meeting mingguan DPSN-OJK. Jika tidak, maka berkas itu akan dikembalikan ke perbankan syariah yang terkait untuk direview ulang dan disesuaikan dengan syariah jika ingin di ajukan kembali.
Gambar 1.
Model Kerja Penerbitan Produk Produk Keuangan Syariah
Dalam penerbitan sebuah produk industri keuangan syariah, haruslah teratur dan teregulasi sehingga produk yang dikeluarkan bisa meminimalisir terjadinya dispute dikemudian hari, baik itu timbul dari akademisi, ahli syariah atau masyarakat secara umum. Ada dua model yang bisa saya tawarkan disini, yaitu bottom-up approach, dan top-down approach.
1. Bottom-up Approach
Model yang pertama ini yang biasa digunakan di industri perbankan pada umumnya dimana perbankan syariah terkatir mengusulkan sebuah produk untuk diajukan kepada otoritas terkait (biasanya ke Bank Central atau Bank Indonesia jika kita berbicara di Indonesia). Prosesnya adalah, bagian shariah ataupun compliance di perbankan syariah misalnya, ataupun di asuransi syariah ataupun di pasar modal syariah, mengajukan sebuah produk sesuai dengan kebutuhan industri keuangan syariah tersebut. Jika produk ini sudah didiskusikan di tahap departemen syariah ataupun compliance mereka, produk ini bisa diajukan ke Dewan Pengawas Syariah mereka. Jika dalam rapat DPS tersebut produk itu disetujui, maka lembaga keuangan syariah tersebut bisa mengajukan ke departemen terkait, jika perbankan syariah, maka akan mengajukan ke departemen perbankan syariah OJK untuk diusulkan ke meeting DPSN-OJK. Jika departemen ini melihat produk ini layak untuk dimasukkan ketingkat meeting yang lebih tinggi, maka berkas ini akan masuk ke rapat DPSN OJK. Jika tidak, maka akan dikembalikan lagi ke lembaga keuangan syariah tersebut untuk diperbaiki.
Jiak setelah diperbaiki oleh lembaga keuangan syariah tersebut, maka proposal ini bisa diajukan kembali untuk dimasukkan ke dalam meeting DPSN-OJK. Jika DPSN-OJK menyetujui produk ini, maka produk ini bisa dipasarkan dan kita bisa melihatnya di pasaran. Jika tidak juga disetujui, maka produk ini dianggap produk gagal dan tidak dapat dipasarkan.
2. Top-Down Approach
Model kedua terlihat lebih simple dari model yang pertama. Dimana model kedua ini produknya adalah berdasarkan usulan dari DPSN-OJK ke industri keuangan syariah di tanah air untuk dapat menggunakan produk yang sudah di keluarkan oleh DPSN-OJK dilihat dari permintaan pasar nasional maupun investor luar negri.
Cara kerjanya adalah, DPSN-OJK mengusulkan sebuah produk di meeting mingguan dan didiskusikan diantara mereka dan mendesign produk tersebut agar dapat diaplikasikan di dunia industri. Misalnya, DPSN-OJK mengusulkan instrumen Islamic Structured product yang ini bisa digunakan oleh industri asuransi syariah, pasar modal syariah dan perbankan syariah untuk mengembangkan model investasi mereka. Maka jika disetujui, produk ini akan disosialisasikan ke industri keuangan syariah, maka jikalau salah satu lembaga keuangan syariah mau menggunakannya sebagai salah satu produk dan instrumen mereka, maka ini sah karna telah disetujui oleh DPSN-OJK tanpa perlu mengusulkan ulang. Jika lembaga keuangan syariah tersebut ingin menerbitkan produk ini, bisa melaporkan ke OJK untuk disetujui.
Perlu diingat, setiap usulan produk yang dikeluarkan oleh DPSN-OJK itu tidak wajib bagi lembaga keuangan syariah untuk mengikutinya. Ini sifatnya adalah mubah. Boleh memakai produk itu, boleh juga tidak memakainya.
Mungkin didalam membaca artikel ini banyak yang bertanya-tanya, dengan adanya DPSN-OJK ini, apakah tidak tumpang tindih dari peran DSN-MUI yang sudah ada, dan peran DPS di setiap lembaga keuangan syariah? Jawabannya adalah tidak. Karna DPSN-OJK fungsinya sangat berbeda sekali dengan DSN-MUI dan DPS disetiap lembaga keuangan syariah.
DPSN-OJK adalah sebuah lembaga tertinggi di industri keuangan syariah gibawah dewan komisioner OJK yang memiliki otoritas dalam penentuan kesyariahan sebuah produk. Selain itu, DPSN-OJK bisa mengeluarkan regulasi-regulasi terkait dengan industri keuangan syariah secara umum, baik itu asuransi syariah, perbankan syariah maupun pasar modal syariah. Sedangkan DSN-MUI tetap menjalankan perannya dalam pembuatan fatwa terkait dengan keuangan syariah di tanah air untuk menunjang perkembangan industri keuangan syariah nasional. Sedangkan DPS di setiap lembaga keuangan syariah tetap menjalankan perannya dalam mengawasi produk-produk syariah yang beredar di lembaga tersebut.
Apakah DPSN-OJK bisa jadi DPS di Lembaga Keuangan Syariah?
Mungkin pertanyaan ini akan muncul kedepannya dikarnakan otoritas DPSN-OJK yang tinggi di industri keuangan syariah. Maka pemerintah harus mengeluarkan aturan bahwa setiap anggota DPSN-OJK tidak diperkenankan menjadi DPS dilembaga keuangan syariah untuk menjaga kesahihan aturan disetiap keputusan yang dikeluarkan. Jikalau ini tidak diatur, dikhawatirkan akan terjadi conflict of interest antara para Dewan Pengawas Syariah Nasional OJK dikarnakan salah satu ataupun salah dua dari mereka mewakili sebuah lembaga keuangan syariah.
Jadi, setiap keputusan yang dikeluarkan oleh DPSN-OJK itu adalah murni keputusan mereka tanpa ada campur tangan siapapun. Sehingga produk yang disahkan oleh DPSN-OJK tidak perlu dipertanyakan kembali kesyariahannya.
Siapa yang Memiliki Hak untuk Menjadi DPSN-OJK?
Mungkin ini adalah pertanyaan yang sangat urgent sekali didalam penetapan siapa sajakah yang berhak untuk menjabat sebagai DPSN-OJK. Jika tidak diatur dari awal, maka akan terjadi ketimpangan antara jabatan yang dipegang dengan keahlian yang dimiliki oleh DPSN OJK. Contoh misalnya saja, seseorang yang mempunyai background perbankan konvensional lalu pernah bekerja di perbankan syariah selama setahun, apakah dia memiliki hak untuk menjabat menjadi DPSN-OJK? Mungkin jika ini terjadi, maka kredibilitas dan kapabilitas DPSN-OJK akan dipertanyakan orang banyak. Karna untuk memutuskan sebuah regulasi yang berkaitan dengan industri keuangan syariah baik dari produk dan hal lainnya haruslah yang mengerti Syariah, tidak hanya sekedar ‘tau’ saja.
Maka dari itu dari permasalahan ada beberapa persyaratan yang bisa kita usulkan siapa sajakah yang berhak menjadi DPSN-OJK:
1. Haruslah memiliki background syariah baik itu minimal s1 kuliah di fakultas syariah di universitas terkemuka baik di Indonesia ataupun di luar negri.
2. Harus faham bagaimana praktek perbankan syariah, asuransi syariah, pasar modal syariah dan lembaga keuangan syariah lainnya dengan memperlihatkan pengalaman yang ada.
3. Harus faham ayat dan hadis yang berkaitan dengan ekonomi dan industri keuangan syariah dan bagaimana prakteknya di industri keuangan syariah secara umum.
4. Harus faham bahasa arab, dikarnakan semua aturan syariah literaturnya kebanyak ditulis didalam bahasa arab, jika tidak dikhawatirkan keputusan yang diambil hanya sekedar pengetahuan simple belaka tanpa berdasarkan aturan yang utuh.
Keempat syarat diatas adalah syarat simple yang bisa kita ajukan untuk criteria yang bisa menduduki jabatan DPSN-OJK dikarnakan untuk menjaga kredibilitas institusi OJK sebagai lembaga yang kompeten bukan asal-asalan.
Peran DSN-MUI
Fungsi Dewan Pengawas Syariah Nasional Majlis Ulama Indonesia (DSN-MUI) di era OJK nanti akan tetap pada alurnya tanpa diotak atik sedikitpun. Sebagaimana lembaga ini didirikan yang memiliki fungsi untuk menampung berbagai masalah ataupun kasus yang yang terjadi di industri keuangan syariah dan memerlukan fatwa agar diperoleh kesamaan dalam penanganannya dari masing-masing Dewan Pengawas Syariah yang ada di lembaga keuangan syariah. Sehingga dengan regulasi baru dengan dimunculkannya DPSN-OJK, fungsi masing-masing antara DPSN-OJK dengan DSN-MUI tidak akan tumpang tindih seperti layaknya fungsi DSN-MUI ketika berkaitan dengan regulasi perbankan syariah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia.
Sebagaimana kita lihat sejarah dari pembentukan Dewan Syariah Nasional merupakan langkah efisiensi dan koordinasi para ulama yang ahli dibidangnya dalam menanggapi isu-isu yang berhubungan dengan masalah ekonomi maupun keuangan. Dewan Syariah Nasional diharapkan tetap dapat berfungsi sebagaimana mestinya untuk mendorong penerapan ajaran Islam dalam kehidupan ekonomi. Secara umum, Dewan Syariah Nasional berperan secara pro-aktif dalam menanggapi perkembangan masyarakat Indonesia yang dinamis dalam bidangn ekonomi dan keuangan.
Di dalam aturan kerja tugas dan wewenangnya sendiri, disana jelas menyebutkan fungsi tugas dan wewenang yang dimiliki oleh DSN-MUI yang sangat berbeda dengan yang dimiliki oleh DPSN-OJK. Dewan Syariah Nasional bertugas antara lain:
1. Menumbuh-kembangkan penerapan nilai-nilai syariah dalam kegiatan perekonomian pada umumnya dan keuangan pada khususnya.
2. Mengeluarkan fatwa atas jenis-jenis kegiatan keuangan.
3. Mengeluarkan fatwa atas produk dan jasa keuangan syariah.
4. Mengawasi penerapan fatwa yang telah dikeluarkan.
Sedangkan wewenang Dewan Syariah Nasional adalah:
1. Mengeluarkan fatwa yang mengikat Dewan Pengawas Syariah dimasing-masing lembaga keuangan syariah dan menjadi dasar tindakan hukum pihak terkait.
2. Mengeluarkan fatwa yang menjadi landasan bagi ketentuan/peraturan yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang, seperti Departemen Keuangan dan Bank Indonesia.
3. Memberikan rekomendasi dan/atau mencabut rekomendasi nama-nama yang akan duduk sebagai Dewan Pengawas Syariah pada suatu lembaga keuangan syariah.
4. Mengundang para ahli untuk menjelaskan suatu masalah yang diperlukan dalam pembahasan ekonomi syariah, termasuk otoritas moneter/lembaga keuangan dalam maupun luar negeri.
5. Memberikan peringatan kepada lembaga keuangan syariah untuk menghentikan penyimpangan dari fatwa yang telah dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional.
6. Mengusulkan kepada instansi yang berwenang untuk mengambil tindakan apabila peringatan tidak diindahkan.
Jika kita lihat dari tugas kerja dan wewenang DSN-MUI diatas, masing-masing DSN-MUI dan DPSN-OJK memiliki peran masing-masing dalam pengembangan industri keuangan syariah tanpa overlap satu sama lain. Jadi, kemunculan DPSN-OJK bukanlah suatu hal yang perlu disangsikan keberadaannya.
Dewan Pengawas Syariah
Permasalahan selanjutnya adalah, apakah keberadaan DPSN-OJK akan mempengaruhi peran dan wewenang dari DPS disetiap lembaga keuangan syariah? Tentulah tidak, karna secara institusi sangatlah berbeda, dimana DPS disetiap lembaga keuangan syariah hanya berhak mengawasi produk-produk dan regulasi yang berkaitan dengan kesyariahaannya sebuah lembaga keuangan syariah, sedangkan DPSN-OJK mempunyai otoritas dalam menetapkan regulasi secara umum bagi seluruh lembaga keuangan syariah yang ada di Indonesia.
Sebagaimana yang kita ketahui, secara umum telah disebutkan peran DPS disetiap lembaga keuangan syariah terkait antara lain:
1. Dewan Pengawas Syariah melakukan pengawasan secara periodik pada lembaga keuangan syariah yang berada di bawah pengawasannya.
2. Dewan Pengawas Syariah berkewajiban mengajukan usul-usul pengembangan lembaga keuangan syraiah kepada pimpinan lembaga yang bersangkutan dan kepada Dewan Syariah Nasional.
3. Dewan Pengawas Syariah melaporkan perkembangan produk dan operasional lembaga keuangan syariah yang diawasinya kepada Dewan Syariah Nasional sekurang-kurangnya dua kali dalam satu tahun anggaran.
4. Dewan Pengawas Syariah merumuskan permasalahan-permasalahan yang memerlukan pembahasan Dewan Syariah Nasional.
Dari rincian peran diatas, sudah jelas bahwasanya DPSN-OJK dengan DPS yang di lembaga keuangan syariah yang ada sangatlah berbeda didalam peran dan wewenangnya satu sama lain.
Pembelajaran Dari Negara Malaysia
Jikalau kita mengacu dan melihat bagaimana Negara tetangga kita Malaysia. Mereka memiliki Shariah Advisory Council Bank Negara Malaysia (SAC BNM) sebagai regulator dan lembaga tertinggi dibidang perbankan syariah. Mereka ini dipilih dan diseleksi oleh gubernur bank central Malaysia yaitu Dr. Zeiti Akhtar. Kapabilitas orang-orang yang duduk disini tidak dapat diragukan lagi, selain mereka sangat ahli dalam fikih, mereka juga sangat ahli dibidang perbankan syariah. Jadi jangan kaget jika kita melihat beberapa orang dari mereka menduduki posisi penting di lembaga keuangan international, baik itu Asia, Eropa bahkan Amerika sekalipun.
Lembaga ini adalah penentu dan pembuat regulasi dibidang perbankan syariah. Jikalau sebuah bank syariah ingin mengeluarkan produk dan ingin dipasarkan ke masyarakat, mereka harus mendapatkan persetujuan dari dewan pengawas syariah dari bank mereka. Baru kemudian mereka mengajukan kepada SAC BNM untuk disahkan, jika produk ini disahkan dan diterima oleh SAC BNM, maka kita akan melihat produk tersebut dipasarkan di pasaran perbankan syariah. Jikalau tidak, maka bank ini tidak bisa mengeluarkan produk tersebut. Jikalau mereka menolak hal tersebut, mereka punya 2 pilihan, menurut apa yang dikatakan oleh SAC BNM, atau izin operasional mereka dicabut.
Kalau dilihat dari sisi proses pengesahan di SAC BNM, mereka memiliki dua cara; pertama adalah Fast Line, proses tercepat dalam pengajuan produk yaitu dimana produk yang diajukan oleh perbankan syariah dimalaysia ada produk yang biasa dilakukan dan sudah sesuai dengan syariah. Jadi mereka bisa mengajukan langsung ke secretariat SAC BNM, dan kalau sektreariat mangatakan hal ini bisa dilakukan, maka kita akan melihat produk ini dipasaran. Akan tetapi jikalau tidak, maka hal ini tidak bisa dipasarkan di industri perbankan syariah. Implikasi dari cara pertama ini adalah, jikalau produk ini telah dipasarkan dipasaran, dikemudian hari SAC BNM mendapati bahwa produk ini tidak sesuai dengan shariah, maka bank shariah tersebut harus menghentikan produk mereka dan mengembalikan semua dana nasabah saat itu juga. Atau mengganti produk itu dengan produk shariah dan bank syariah harus memanggil setiap nasabah untuk menandatangani ulang produk tersebut.
Ada satu contoh kasus menari yang bisa kita jadikan contoh, salah satunya adalah pada saat Bank Syariah XYZ (salah satu bank syariah di Malaysia) mengeluarkan produk wadiah, bank syariah ini mengiklankan diradio, surat kabar bahkan di TV dengan menyatakan, bahwasanya orang yang naro uangnya di bank tersebut dengan minimal X ringgit, maka mereka akan berhak masuk dalam kontes berhadiah. Dalam beberapa hari Bank ini telah mengumpulkan lebih dari 100 juta ringgit.
Akan tetapi, dikemudian hari hal ini diketahui oleh SAC BNM bahwasanya produk ini tidak shariah. Sedangkan bank syariah XYZ ini merasa hal ini sudah sesuai dengan shariah dan mereka mengajukan usulan produk mereka melalui FAST LINE tadi. Kemudian, CEO dan managemen bank syariah XYZ ini dipanggil ke SAC BNM untuk menghadap dan menjelaskan bagaimana produk ini bisa terjadi. Dalam meeting tersebut diputuskan bahwasanya produk ini tidak sesuai dengan shariah dan tidak mendapatkan persetujuan SAC BNM. Mereka berpendapat bahwasanya menang dalam kontes ini tidak pasti, oleh sebab itu dibolehkan, akhirnys SAC BNM membenarkan, bahwasanya menang dalam kontes ini memang tidak pasti, tapi masuk dalam kontes ini adalah pasti. Didalam kontrak wadiah, si nasabah tidak berhak mendapatkan manfaat apapun, jikalau ada manfaat, maka hal itu adalah riba, dan riba diharamkan oleh Shariah.
Cara yang kedua adalah SAC Line. Yaitu dimana produk2 perbankan syariah dimalaysia yang ingin mengeluarkan produk mereka dan dipasarkan di industri perbankan syariah mengajukan produk mereka dan produk ini akan dievaluasi oleh SAC BNM, jikalau produk ini menurut mereka sesuai shariah. Maka kita akan melihat produk ini dipasaran. Akan tetapi jika produk ini tidak sesuai dengan shariah, maka produk ini akan dikembalikan kepada bank syariah tersebut, atau bahkan dibuang begitu saja, karna produk ini tidak seusai shariah.
Kemungkina ketiga adalah, jika produk ini layak, akan tetapi masih ada elemen gharar atau riba didalamnya, maka SAC BNM akan meminta bank syariah tersebut untuk mereview kembali sampai produk tersebut sesuai dengan shariah. Baru kemudian diajukan kembali ke SAC BNM untuk ditindak lanjuti. Jika produk tersebut sudah sesuai dengan shariah, maka SAC BNM akan mengesahkannya, jika tidak, maka proposal tersebut akan ditolak dan kita tidak akan melihat produk tersebut menyebar dipasar industri perbankan syariah.
Secara umum, jika kita bandingkan SAC-BNM dan DPSN-OJK berbeda dari sisi otoritas, jikalau SAC-BNM hanya berkutat pada perbankan syariah saja, akan tetapi otoritas yang dimiliki DPSN-OJK meliputi seluruh lembaga keuangan syariah secara menyeluruh tanpa terbatas pada perbankan syariah saja, akan tetapi meliputi asuransi syariah, pasar modal syariah dan lembaga keuangan syariah lainnya seperti BMT dan Koperasi Syariah.
Penutup
Pertumbuhan industri keuangan syariah di tanah air hingga saat ini masih menunjukkan angka yang signifikan meskipun penguasaan secara menyeluruh belum menyentuh angka 5% dari total industri keuangan secara umum. Maka dari itu, harapan perkembangan industri keuangan syariah di era OJK menjadi lebih baik harus di realisasikan sehingga bukan hanya sekedar buaian mimpi belaka. Sehingga harapan indonesia bisa menjadi internasional hub Islamic finance bisa menjadi kenyataan juga di kemudian hari.
Adapaun usulan diatas hanyalah sebuah usulan yang masih singkap dan perlu masukan lebih banyak lagi baik itu dari sisi kewenangan dan otoritas kerja. Tidak hanya disitu, usulan hal ini untuk dimasukkan didalam Peraturan Pemerintah (PP) harus juga direalisasikan sehingga otoritas yang dimiliki DPSN-OJK bisa tercapai dan berdasar kepada aturan pemerintah. Sehingga jika nanti terjadi permasalahan di industri keuangan syariah yang berkaitan dengan DPSN-OJK, pemerintah sudah mempunyai landasar yang kuat untuk dijasikan acuan. Jika tidak, maka otoritas yang diusulkan diatas cuma sekedar usulan ‘ompong’ semata tanpa teregulasi dengan baik.
Terakhir, usulan diatas masih terbilang masih singkat karna cuma sekedar usulan dari aspek kewenangan dan otoritas DPSN-OJK, dan menciptakan sesuatu yang baru demi kemajuan industri keuangan syariah yang lebih baik kedepannya. Dan yang paling utama lagi, hal ini juga harus mendapatkan dukungan pemerintah secara umum baik itu di DPR dan MPR maupun pemerintahan SBY. Wallahua’lamubisshawab
#Penulis adalah Faculty Member (Trainer) Keuangan Syariah di Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI). Beliau juga Aktif sebagai Sekretaris Ikatan Ahli Ekonomi Islam (DPP IAEI Pusat), selain itu, beliau juga Dosen Perbankan Shariah dan Pasar Modal Shariah di Universitas Al Azhar Indonesia, Pascasarjana Universitas Trisakti, Universitas Islam Az Zahrah, Konsultan Asuransi Shariah, Perbankan Shariah dan Pasar Modal Shariah Zakirah Group, Trainer Fikih Muamalah on Islamic Banking and Finance Di Iqtishad Consulting MES, R&D WakafPro99 Dompet Dhuafa Jawa Barat, Kandidat Ph.D Islamci Banking and Finance (IIiBF) International Islamic University Malaysia. Selain itu, beliau juga sering diundang jadi pembicara baik itu dalam maupun luar negri.
Sumber: Majalah Sharing Edisi Maret 2012