Lika-Liku Non-Halal Income di Keuangan
Syariah;
Pendekatan Fikih
Muhammad Iman Sastra Mihajat
Sekretaris Ikatan Ahli Ekonomi Islam & CEO and Founder iMan Institute of Islamic Finance
Pendahuluan
Seiring
dengan perkembangan industry keuangan syariah di Indonesia yang sampai saat ini
terus menunjukkan trend positif, trend pertumbuhuan industry asuransi syariah
pun mengalami hal serupa. Hal ini dapat dilihat dari menjamurnya indusri
asuransi syariah dari segi kuantiti dan kualitasnya yang terus menggerus pasar
konvensional. Hingga saat ini, pangsa pasar asuransi syariah telah mencapai angka
7,4% lebih dari total market share asuransi secara nasional. Hal ini juga
didukung oleh banyaknya pemain-pemain baru di industry ini yang di tahun 2007
hanya 37 unit bisnis, pada akhir tahun 2011 telah mencapai 46 unit bisnis dan
ini akan terus bertambah di akhir tahun 2012 dikarnakan sudah ada beberapa
pemain baru yang sudah mendaftarkan diri di BAPEPAM-LK. Tumbuhnya industry
asuransi syariah bukan tanpa hambatan, beberap isu actual di dunia
perasuransian syariah muncul, seperti halnya dana masbalah, dana yang diperoleh
oleh lembaga keuangan syariah dari bunga yang berasal dari dana-dana asuransi
syariah yang didepositokan di perbankan konvensional, baik itu untuk reciprocal
bisnis karna bank konvensional tersebut telah memberikan asuransi produknya ke
asuransi syariah, atau karna kebijakan lama untuk memperoleh jasa yang lebih
baik di perbankan konvensional. Pertanyaan yang muncul adalah, kemanakah dana
haram ini didistribusikan? Atau di dunia perbankan syariah ketika ada beberapa
dana yang terkumpul yang dihimpun dari penalty yang disebabkan keterlambatan
dari nasabah membayar kewajibannya disetiap bulannya, ataupun investasi
perbankan syariah ditempat-tempat yang masih tercampur baur antara konvensional
dan syariah seperti pembiayaan dihotel yang masih dipertanyakan ke
syariah-annya, atau investasi di pasar modal syariah diperusahaan yang secara
umumnya adalah syariah, akan tetapi mereka masih memiliki income dari anak perusahaan
yang bergelut dibisnis yang kurang sesuai dengan syariah seperti broker
konvensional, jual beli index komoditas konvensional dan lain lain.
Meskipun
demikian, industri keuangan syariah masih menjadi primadona hingga saat ini,
tidak hanya di Indonesia bahkan di dunia secara umum. Hal ini dikarnakan konsep
yang ditawarkan oleh industry keuangan syariah sangat menjanjikan oleh pihak
penanam modal dalam negri dan asing. System yang berkeadilan dan menentramkan
ini menjadi juru kunci dalam maraknya industry keuangan syariah di tanah air.
Ditambah lagi dengan dominasi muslim di beberapa dunia berpenghasilan menengah
keatas menginginkan lembaga keuangan dimana ia menginvestasikan dananya
haruslah sesuai dengan nilai-nilai islam, bahkan sebua syarat wajib jika
lembaga keuangan tersebut ingin menikmati hujan ‘petro dollar’ khususnya dari
Negara timur tengah.
Hingga
saat ini, Indonesia sebagai Negara muslim terbanyak populasinya di dunia, masih
menjadi rujukan didalam impelemntasi industry keuangan syariah setelah Iran,
UK, dan Negara tetangga Malaysia. Bahkan beberapa dunia menilai Indonesia
sangat layak dijadikan sebagai gerbang atau kiblat industry keuangan syariah
dunia dikarnakan berbagai keunikan Indonesia dalam mengimpelemntasikan
produk-produk yang sesuai dengan syariah. Ditambah lagi dengan keunikan
Indonesia yang memiliki Dewan Syariah Nasional Majlis Ulama Indonesia (DSN-MUI)
sebagai lembaga independent yang tidak terikat dengan institusi manapun yang
diharapkan bebas dari konlik interest ketika mengesahkan sebuah produk dan
fatwa yang ada. Hal ini berbeda dengan Negara timur tengah yang merujuk kepada
salah seorang ulama untuk memberikan fatwa dalam hal keuangan syariah yang
lebih kepada ijtihad individu dibandingkan ijtihad jama’i. sedangkan DSN-MUI lebih
memilih ijtihad jama’I dibandingkan dengan ijtihad individu yang lebih
menghasilkan pendapat yang lebih comprehensive dengan mempertimbangkan beberapa
pertimbangan baik dari kalangan ulama, akademi, praktisi dan maslahat-maslahat
lainnya yang dianggap dapat mendukung sah atau tidaknya fatwa tersebut yang
diperkuat oleh dalil-dalil al-quran, al-sunnah dan pendapat-pendapat ulama
terdahulu.
Dari
beberapa industry keuangan syariah yang ada selain perbankan syariah, pasar
modal syariah, pegadaian syariah, koperasi jasa keuangan syariah, industry
asuransi syariah juga turut menunjukkan angka trend positif dalam
perkembangannya. Jika industry perbankan syariah hanya mampu mencapai market
share 4,2% (laporan quartal 3 Bank Indonesia) di akhir tahun 2012 ini, dengan
11 bank umum syariah dan 156 lebih BPR Syariah. Maka industry asuransi juga
terus menunjukkan pertumbuhan perkembangan terbaiknya. Dari hanya memiliki 37
unit bisnis di tahun 2007, hingga tahun 2011 telah memiliki 46 lebih unit
bisnis asuransi syariah yang akan terus bertambah di tahun depan dikarnakan
sudah ada beberapa pemain baru yang sudah mendaftarkan diri di BAPEPAM-LK. Dari
market share pun di akhir tahun 2012 ini, pertumbuhan asuransi syariah di
Indonesia jika kita pandang dari market share nya, industry asuransi syariah
telah menguasai 7,42% market share asuransi syariah dari total industry
asuransi nasional secara keseluruhan dari yang hanya 3,82% di tahun kemarin.
Artinya, perkembangan industry asuransi syariah sedikit lebih maju dibandingkan
perkembangan industry perbankan syariah di tanah air yang sampai saat ini hanya
mengusaai 4,2% dari total market share perbankan nasional. (lihat table 1.0 dan
table 1.1)
Table
1.0
PELAKU USAHA ASURANSI DAN
REASURANSI SYARIAH
No.
|
Keterangan
/ Description
|
TW II 2012
|
1.
|
Perusahaan
Asuransi Jiwa Syariah
|
4*
|
2.
|
Perusahaan
Asuransi Kerugian Syariah
|
2
|
3.
|
Unit
Syariah Perusahaan Asuransi Jiwa
|
17
|
4.
|
Unit
Syariah Perusahaan Asuransi Kerugian
|
20**
|
5.
|
Unit
Syariah Perusahaan Reasuransi
|
3
|
TOTAL
|
46
|
*Termasuk PT Asuransi Jiwa
Amanahjiwa Giri Artha
**Termasuk PT Asuransi Ekspor
Indonesia dan PT Asuransi Jasa Raharja Putera
Table
1.1
MARKET
SHARE KONTRIBUSI BRUTO (*)
(*) Belum termasuk PT
Asuransi Jiwa Amanahjiwa Giri Artha, PT Asuransi Ekspor Indonesia, dan PT
Asuransi Jasa Raharja Putera
Majunya
pertumbuhan asuransi syariah yang ada saat ini, bukan tanpa hambatan dan
rintangan, dari berbagai isu yang muncul yang menyudutkan usaha bisnis asuransi
syariah dengan berbagai alasan melanggar takdir dan menyalahi takdir allah
dikarnakan kurang fahamnya masyarakat mengenai konsep takaful, akan tetapi
pertumbuhan ini tetap positif kedepannya. Akan tetapi, secara aplikasinya, ada
beberapa isu yang muncul yang mungkin bisa dijadikan bahan untuk didiskusikan
lebih lanjut dan ditelaah bagaimana fikih menyikapi hal ini ditambah dengan
pendapat ulama dan kaidah-kaidah fikih penunjang untuk memberikan kesimpulan
sebuah hokum yang mempunyai landasan yang kuat.
Kemajuan
industri asuransi syariah ini juga diikuti oleh lembaga keuangan syariah
lainnya seperti perbankan syariah, hingga saat ini market share bank syariah
terus naik ke trend positif. Sampai saat ini bank syariah telah memiliki market
share sebanyak 4,2% dari total market share perbankan nasional secara umum. Hal
ini disebabkan oleh pertumbuhan perbankan syariah di bulan-bulan pada tahun
2012 ini rata-rata 40-45%, jika hal ini terus berlanjut sampai tahun 2015, maka
target bank syariah untuk mencapat market share 10% bukan hal yang sulit lagi,
hal ini juga sempat ditekankan oleh Bank Indonesia didalam presentasinya.
Selain
itu, industry pasar modal juga memiliki peran penting, hingga saat ini,
Indonesia telah memiliki ‘IHSG’ yang syariah, yang diberi nama ISSI (Indonesian
shariah stock index). Hal ini di upayakan untuk memperkuat pasar modal syariah
yang ada sehingga bias lebih kompetitif dibandingkan Negara-negara lainnya
seperti Malaysia. Hingga saat ini, produk baru yang akan muncul adalah Islamic
ETF yang akan diprakarsai oleh IPOT Syariah yang terus memberikan inovasi dalam
produk investasi mereka didalam menggaet nasabah, baik itu nasabah besar bahkan
sampai retail sekalipun. Hal ini tergambar dari penyediaan produk investasi
mulai dari Rp 100 ribu rupiah saja, masyarakat sudah dapat investasi ke pasar
modal syariah.
Di
Islamic money market, komoditi syariah juga telah diluncurkan ditahun kemarin,
meskipun hingga saat ini produk ini masih belum maksimal di manfaatkan oleh
perbankan syariah yang ada dikarnakan banyak pertimbangan bisnis. Akan tetapi
secara umum, ini adalah fase baru industry keuangan syariah di Indonesia dalam
menuju sebagai kiblat industry keuangan syariah global.
Isu Aktual
Ada
beberap isu actual yang sekarang mungkin bias dijadikan bahan diskusi yang
kemudian bias ditelaah secara mendalam untuk dilihat bagaimana dari perspective
syariah. Isu actual yang dimaksud adalah isu mengenai dana masbalah jika hal
ini didalam industry asuransi syariah, yaitu dana haram yang didapatkan oleh
perusahaan asuransi syariah berupa bunga dari bank konvensional akibat dari
peletakan dana asuransi syariah di beberapa bank konvensional yang menjadi
rekanan bisnis asuransi syariah tersebut. Sebagai sebuah reciprocal bisnis,
maka asuransi syariah meletakkan dana nya di bank konvensional, dan dari
peletakan dana tersebut ada bunga yang dihasilkan dikarnakan beberapa
pertimbangan waktu itu, maka hasil dari bunga tersebut menjadi bahan diskusi
harus dikemanakan.
Atau
isu unjust profit didalam perbankan syariah, adalah profit yang dihasilkan dari
hal-hal yang tidak dibenarkan oleh bank syariah untuk mengklaimnya sebagai
profit perusahaan, contohnya adalah uang penalty yang diberikan nasabah
pembiayaan yang molor dalam mengangsur bayaran bulanannya. Atau bias jadi
income yang berasal dari investasi dipasar modal yang belum murni secara
syariah seperti halnya investasi di hotel yang masih menjual makanan dan
minuman haram. Pertanyaannya adalah, kemanakah dana tersebut harus
dialokasikan.
Atau
non-halal income di pasar modal syariah yang menggunakan instrument
konvensional dalam melakukan transaksinya, baik itu sifatnya hedging pada
instrument konvensional, atau investasi diperusahaan yang masih dipertanyakan
kesyariahannya. Dari hasil investasi ini, menghasilkan sebuah income yang harus
jelas dimekanan income dari hasil ini sehingga bias sesuai juga dengan konsep
syariah yang ada.
Sebelum
kita membahas lebih detail tentang bagaimana mengalokasikan dana non hala
diatas, mungkin alangkah lebih baiknya kita melihat pendekatan fikih, bagaimana
fikih tentang konsep harta yang haram tersebut, masuk dalam kategori apa
didalam syariah harta-harta yang seperti ini, apakah haram secara zat ataukah
haram secara mendapatkannya. Sehingga dalam memutuskan sesuatu hal kedepan
tidak terfokus pada perdebatan yang tidak sesuai dengan bahasan awal.
Maka
dari itu, tulisan ini sebenarnya ingin mengajak kepada pembaca untuk membahas
secara detail bagaimana fikih melihat persoalan ini secara mendalam sehingga
bias sesuai dengan konsep dasar syariah.
Uang Haram dan Penghasilan Haram
Secara
umum, harta yang kita peroleh bias klasifikasikan kepada tiga macam, yaitu
halal, haram dan syubhat (tidak jelas apakah itu haram atau halal). Didalam
paper ini akan khusus membahas harta haram atau penghasilan yang diperoleh dari
jalan haram, baik itu haram dalam mekanismenya ataupun haram karna barang itu
sendiri dilarang didalam al quran maupun al sunnah. Berikut klasifikasi harta
haram dalam Islam:
1.
Harta Haram karna Dzatnya,
Yaitu
adalah harta yang haram karna pada dasarnya haram karna barang tersebut sudah
haram dzatnya seperti babi, anjing, bangkai, khamr, dan Rokok. Dalam keadaan
apapun, barang-barang diatas tetaplah haram meskipun diperoleh dengan cara yang
halal, misalkan barang-barang diatas diperoleh dengan membelinya di supermarket
dengan uang yang diperoleh dari hasil kerja keras kita selama sebulan penuh
dikantor, atau barang-barang tersebut didapat dari hadiah dari seorang teman
ataupun tetangga. Karna seperti apapun cara memperolehnya, ia hukumnya akan
tetap haram karna pada dasarnya adalah haram. Atau bisa jadi uang dari hasil
jual beli barang-barang diatas, meskipun transaksinya jual beli anatara uang
dengan barang-barang diatas yang secara hukum syarat jual beli sudah sah karna
rukun jual beli sudah ada semua disana yaitu penjual dan pembeli, sighah dan
harga, ijab qobul dan barangnya ada, akan tetapi hal ini tidak diperbolehkan
karna ia sudah haram dari zat nya, maka uang yang timbul dari transaksi diatas
maka hukumnya haram karna ia telah melanggar aturan allah.
Sebagaimana
sebuah kaidah fikih mengatakan:
“maa
buniya ‘alal haram fahuwal haram”
apa
yang dibangun atas dasar haram, maka ia akan menjadi haram karenanya
2. Harta
haram karna cara meperolehnya.
Pada
dasarnya, uang atau harta tersebut tidak bermasalah dari aspek syariah, karna
hukumnya boleh, misalnya hukum uang kertas pada dasarnya diperbolehkan, akan
tetapi jika uang tersebut didapat dari hasil mencuri atau korupsi, maka
hukumnya adalah haram. Atau kita mendapatkan gaji dari kerja kita selama
sebulan yang pada dasarnya uang itu adalah uang halal, akan tetapi kita
meletakkannya di bank konvensional, maka hasil atau bunga dari peletakan dana
tersebut adalah haram karna sudah memakai konsep riba yang dilaknat oleh allah
dan rasulnya. Sama seperti halnya barang yang lain seperti tv, rumah, mobil,
motor atau benda yang secara umum diperbolehkan dan di halalkan, akan tetapi
jika cara mendapatkannya melanggar aturan allah seperti mencuri, hasil dari
merampok, mencopet, maka hukumnya tidak diperbolehkan atau secara syariah hokum
harta tersebut adalah haram.
Ada
sebuah kaidah yang sangat baik sekali yang bisa dijadikan acuan, sebagaimana
kaidah ini dipakai oleh beberapa ahli fikih, kaidah tersebut berbunyi:
“taghoyyuru
asbaabul milk yunazzalu manzilatu teghoyyurul a’yaan”
“perubahaan
metode memiliki sesuatu benda dihukumi sebagai perubahaan hukum dari benda
tersebut.”
Pembahasan
mengenai macam-macam harta haram ini supaya lebih jelas duduk pembahasannya
kedepan agar tidak tumpang tindih apakah yang dimaksud dengan paper yang akan
dibahas kedepan. Karna pada dasarnya, dana masbalah, unjust profit, atau non
halal income yang ada di industry asuransi syariah, perbankan syariah dan pasar
modal syariah masuk ke dalam kategori yang kedua. Tulisan ini juga akan memberikan
penjelasa dasar kenapa tidak boleh memakan harta secara haram beserta dasarnya
dari al quran dan al sunnah. Serta jika harta ini sudah didapatkan dengan
kondisi ingin bertaubat, maka akan dikemanakan harta tersebut, tulisan ini akan
mengurai lebih dalam lagi mengenai persoalan diatas.
Dasar Larangan Memakan Harta Haram
Ada
banyak dalil baik itu bersumber dari al quran maupun assunnah yang secara jelas
mengatakan kita tidak boleh memakan harta dengan cara yang bathil dalam
memperolehnya. Baik itu akibat dari zat harta / barang tersebut haram ataupun
cara yang memperolehnya haram. Dalil berikut sebagaimana yang pernah dikutip
oleh Dr Ahmad Zain An Najah dalam websitenya www.ahmadzein.com.
Pertama : Dalil al Quran
Firman Allah
swt :
يا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا لا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ
تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ وَلا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ
بِكُمْ رَحِيماً
“ Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan
jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka
sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya
Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (Qs. an-Nisa’ : 29 )
Maksud ayat
diatas adalah sebuah perdagangan yang didasarkan saling ridha antara penjual
dan pembeli tanpa ada satu paksaan sedikitpun. Akan tetapi ayat ini masih umum,
artinya tidaklah boleh kita melakukan transaksi secara ridha kalau misalnya
transaksi tersebut mekanismenya sudah dilarang secara qhot’I didalam al aquran
seperti hal nya larangan riba, maysir dan gharar. Meskipun transaksi antara
pelaku riba, maysir dan gharar saling ridha satu sama lain, maka hal ini tidak
bias disahkan secara hokum syariah karna sudah di khususkan (thakhsish al’umum)
dengan ayat larangan didalam al quran dan al sunnah mengenai tiga hal tersebut.
Kedua : al Sunnah
Hadist Abdullah
bin Umar ra, bahwasanya Rasulullah saw bersabda :
لَا تُقْبَلُ صَلَاةٌ
بِغَيْرِ طُهُورٍ وَلَا صَدَقَةٌ مِنْ غُلُولٍ
“ Tidak
diterima shalat tanpa bersuci, dan tidak diterima sedekah dari hasil
penggelapan harta ghanimah. “ ( HR Muslim, no : 329 )
Hadist Abu
Hurairah ra, bahwasanya ia berkata :
ثم ذَكَرَ الرَّجُلَ
يُطِيلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ يَا رَبِّ
يَا رَبِّ وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ وَغُذِيَ
بِالْحَرَامِ فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ
“ Kemudian Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam menceritakan tentang seroang laki-laki yang telah
lama berjalan karena jauhnya jarak yang ditempuhnya. Sehingga rambutnya kusut,
masai dan berdebu. Orang itu mengangkat tangannya ke langit seraya berdo'a:
"Wahai Tuhanku, wahai Tuhanku." Padahal, makanannya dari barang yang
haram, minumannya dari yang haram, pakaiannya dari yang haram dan diberi makan
dengan makanan yang haram, maka bagaimanakah Allah akan memperkenankan
do'anya?." ( HR Muslim, no : 1686 )
Kisah Mughirah
bin Syu’bah :
وَكَانَ الْمُغِيرَةُ
صَحِبَ قَوْمًا فِي الْجَاهِلِيَّةِ فَقَتَلَهُمْ وَأَخَذَ أَمْوَالَهُمْ ثُمَّ جَاءَ
فَأَسْلَمَ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَّا الْإِسْلَامَ
فَأَقْبَلُ وَأَمَّا الْمَالَ فَلَسْتُ مِنْهُ فِي شَيْءٍ
“Dahulu Al Mughirah
di masa jahiliyah pernah menemani suatu kaum, lalu dia membunuh dan mengambil
harta mereka. Kemudian dia datang dan masuk Islam. Maka Nabi saw berkata saat
itu: "Adapun keIslaman maka aku terima. Sedangkan mengenai harta, aku
tidak ada sangkut pautnya sedikitpun" (HR Bukhari No : 2529)
Intinya, pada
dasarnya islam sangat melarang umat muslim untuk memakan harta secara bathil
dan melanggar aturan allah. Karna memasukkan harta haram ke dalam tubuh kita
dan kedalam rumah kita bisa menyebabkan barokah tidak akan turun kepada kita.
Pendapat Ulama Mengenai Dana Masbalah, Unjust Profit atau Non
Halal Income (Harta yang di Peroleh dari Hasil Haram, termasuk Bunga Bank dan
Sumber lainnya yang Tidak Di Benarkan Syariah)
Dalam hal ini,
mungkin kita akan banyak bertanya, jika harta ini sudah kita dapatkan, lalu
harus dikemanakan? Apakah dibiarkan saja, dibakar, atau digunakan untuk sesautu
yang lebih bermanfaat bagi umat?
Ada beberapa
pendapat Ulama mengenai hal ini diantaranya Prof. DR. Sa’d bin
Turki al Khotslan hafidzohulloh dari fakultas Syari’ah Univ. Imam Su’ud, Riyadh
– KSA, beliau juga wakil ketua pengurus harian yayasan fikih Saudi Arabia)
beliau sempat menyampaikan ini dalam dauroh Masjid Jami’ Ibnu Taimiyyah
diRiyadh dengan judul “ Fiqih Mu’amalah Maliyyah Mu’ashiroh ”. Ada beberapa
kemungkinan yang terjadi dalam hal ini;
Pertama, jika harta riba tersebut ingin ia jadikan sebagai harta
milik dan hendak ia pergunakan untuk dirinya, maka ini tidak dibenarkan dalam
ajaran islam karna itu adalah harta haram dalam memperolehnya dimana kita
sebagai muslim tidak mempunya hak didalamnya, karna hak kita didalam
bermuamalah dengan riba jika ingin bertaubat, hanya mengambil pokoknya, tidak
termasuk dengan bunga nya. Sama seperti halnya ketika dana masbalah ini ingin
di akui oleh industry keuangan syariah sebagai sebuah income, maka hal ini
sangat tidak dibenarkan secara syariah, karna pada dasarnya income tersebut
bukan hak dari perusahaan keuangan syariah, karna didapatkan dari cara tidak
halal. Artinya, cara pertama ini tidak tepat diambil karna pada dasarnya hasil
dari usaha ini adalah haram.
Cara kedua, membiarkan bunga riba dan hasil muamalah ribawinya
dibank konvensional tersebut dan tidak mengambilnya namun hanya mengambil harta
pokoknya saja, sebagaimana anjuran didalam alqruan yang tertera didalam surat
al-Baqarah ayat 297:
“... Tetapi Jika kamu bertaubat, maka kamu berhak atas pokok
hartamu, kamu tidak berbuat zhalim (merugi) dan tidak di zalimi (digurgikan).”
Artinya, bunga tersebut dibiarkan begitu saja dan lambat laun
akan menjadi hak milik bank konvensional tersebut. Cara kedua ini juga tidak
dapat diterima, karna pada dasarnya kita juga sudah memakmurkan system bunga di
bank konvensional tersebut diawal, termasuk memberikan dana kepada mereka untuk
terus beroperasi dengan system riba yang dilarang oleh allah dan rasulnya.
Apabila kita merujuk kepada keterangan para ulama tentang harta hasil dari cara
haram semisal pelacuran maka ternyata mereka menegaskan bahwa upah pelacuran
adalah bukan hak pelacur berdasar sabda Nabi sholallohu ‘alaihi wasallam atau
hadis Ibnu Mas’ud bahwa Nabi sholallohu ‘alaihi wasallam melarang upah jual
beli anjing, upah pelacuran dan upah perdukunan, riwayat al Bukhoriy –
Muslim.
Jika demikian tentu saja upah pelacuran tersebut bukan berarti
dikembalikan kepada pengguna jasa pelacuran juga bukan hak milik pelacur. Karna
menurut beliau (Prof Sa’ad bin Turki) hal ini sebenarnya membiarkan uang haram
tersebut tetap dibank misalnya akan berakibat beberapa akibat buruk diantaranya
: membantu pihak bank untuk tetap berlarut – larut dalam riba serta nekat
padanya sebab hakekatnya seolah – olah orang tersebut memberikan modal tambahan
bagi bank. Gambarkan saja jika seandainya ada banyak orang melakukan hal itu! ditambah
lagi seorang muslim akan dimintai pertanggungan jawab atas perbuatannya yang
menjadi sebab munculnya keharaman, ia akan ditanya akan hal ini. Terlebih lagi
sebenarnya ia meninggalkan uang riba tersebut tetap bank tidak lain hanyalah
pelarian dimana dia ini sebelumnya telah terjatuh dalam kekeliruan dan ia
menerima uang haram kemudian riba tersebut ia biarkan tetap dibank, tidak lain
ini hanyalah pelarian yang tidak akan membebaskan dia dari pertanggungan jawab
sebab dialah orangnya yang menjadi sebab adanya uang haram tersebut. Kemudian
juga bahwa bank bukanlah sebagai pemilik yang sah atas bunga riba tersebut baik
ditinjau dari aturan perbankan atau tinjauan syar’i maka tidak ada dasar jika
bunga riba tersebut tetap dibiarkan dibank? Apabila kita sudah mengetahui bahwa
jalan keluar pertama tidak dapat diterima maka demikian halnya dengan jalan
keluar kedua ini bukanlah cara yang tepat. Sama halnya jika hal ini terjadi di
industry keuangan syariah yang secara sengaja atau tidak sengaja
menginvestasikan dananya di industry konvensional, maka hasil dari investasi
tersebut tidak boleh dibiarkan begitu saja, karna dana tersebut dapat digunakan
oleh industry keuangan syariah untuk hal yang lebih bermanfaat lagi. Jika
dibiarkan begitu saja maka hal ini bukanlah cara yang tepat.
Bahkan Dr Yusuf Qardhawi menyebutkan didalam bukunya ‘Hadal
Islam Fataawa Mu’asharah’ tahun 2001 yang diterbitkan oleh Darul-Qalam Kuwait,
bahwasanya membiarkan bunga bank untuk dimanfaatkan oleh bank itu sendiri
adalah sama dengan menghilangkan jatah atau kesempatan bagi fakir miskin dan
lembaga-lembaga social Islam lainnya untuk memanfaatkan dana tersebut. Bahkan
bisa berarti dimanfaatkan oleh non muslim. Hal ini terbukti dengan aktifnya
bank bank barat menyumbang untuk kegiatan nasrani dan yahudi. Atau bahkan
kepada para misionaris dan zionis beserta sekutunya yang mungkin saja digunakan
untuk membeli senjata peperangan untuk memerangi kaum muslimin diberbagai
Negara seperti Palestina, Thailand, Syiria, Iraq dan lain lain. Artinya jika
harta ini tidak diambil maka harta tersebut akan digunakan untuk membeli
senjata-senjata oleh musuh musuh islam untuk memerangi umat islam itu sendiri
baik lewat serangan secara sembunyi maupun terang-terangan.
Bahkan disini Beliau menyindir kepada orang-orang yang membiarkan
dana tersebut dengan kebohoan yang sangat akut sekali, padahal ada sesuatu hal
yang lebih bermanfaat yang bias ia lakukan untuk kebutuhan yang lebih penting
lagi yaitu kebutuhan umat islam secara keseluruhan. Karna jika harta itu
dimanfaatkan oleh non muslim atau untuk kegiatan ribai lagi, allah berfirman:
“Barang siapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarrah (biji
atom) pun, niscaya dia akan melihat balasannya.“ (al-Zalzalah:7)
“Sesungguhnya Allah tidak menganiaya seorangpun walaupun sebesar
zarrah. Jika ada kebajikan sebesar zarrah, niscaya allah akan melipat
gandakannya dan memberikan dari sisi-Nya pahala yang besar.” (an-Nisa’:40)
Meskipun pada dasarnya pemilik harta ini tidak dikatakan
bersedekah sebagaimana ditekankan oleh sebagian ulama. Karna pada dasarnya
harta diatas adalah harta haram, dan allah tidak menerima infaq dan sedekah
dari harta haram, sebagaimana disebutkan didalam sebuah hadis shahih:
“Laa yaqbalullahu Shadaqah min Ghuluul”
“Allah tidak menerima sedekah dari hasil khianat.”
Cara yang ketiga adalah mengambil bunga ribanya tersebut namun
tidak ia pergunakan untuk pribadi hanya saja ia musnahkan uang tersebut atau ia
bakar atau dibuang kelautan misalnya. Jalan keluar ketiga ini juga tidak dapat
diterima sebab ini merupakan bentuk penelantaran harta sia-sia, sementara
seorang muslim dilarang dari menelantarkan hartanya dengan sia-sia. Jika kita
mau merujuk kepada fikih prioritas (fikih awlawiyyat) yang dikarang oleh Dr
Yusuf Qardhawi, disana disebutkan beberapa kaidah fikih didalam mengatasi
beberapa persoalan, terutama ketika ada sesautu yang bermanfaat, maka kita
ambil yg lebih bermanfaat diantaranya, jika bertemu antara manfaat dan
melepaskan sesuatu kesulitan, maka menghilangkan kesulitan tersebut harus lah
didahulukan.
Artinya cara dia berlepas diri dari riba dengan mengambilnya
dari bank kemudian ia memusnahkannya adalah jalan keluar yang tidak dapat
diterima terlebih kadang – kadang jumlahnya besar mencapai jutaan bahkan
milyaran yang bisa digunakan untuk kepentingan umum dan umat secara lebih besar
lagi.
Cara yang keempat adalah mengambil uang hasil riba tersebut dari
bank konvensional, kemudian di sedekahkan keberbagai bentuk amal kebajikan yang
berguna untuk kepentingan umum. Inilah dia jalan keluar yang wajib ditempuh namun
disini kita wajib memberikan keterangan bahwa niat orang tersebut dalam sedekahnya
hanyalah ingin berlepas diri dari harta haram tersebut bukan dengan niat ingin
ibadah sebab Allah adalah at Thoyyib (maha baik) tidak menerima kecuali yang
thoyyib (baik).
Maka dari itu, jika kita lihat dari tiga pendapat sebelumnya,
maka pendapat terakhir ini adalah cara lebih tepat didalam menyelesaikan
persoalan ini. Karna ia lebih baik dan lebih bemanfaat dibandingkan tiga cara
sebelumnya. Kebanyakan para ulama sepakat untuk melakukan hal keempat ini, akan
tetapi mereka berbeda dalam hal bagaimana distribusinya, apakah digunakan untuk
kepentingan umum atau kepentingan sekelompok saja, apakah digunakan untuk
kepentingan yang tidak berkaitan dengan hal-hal yang agamis ataukan untuk
kepentingan umum saja seperti yang tidak baik, seperti pembangunan toilet?
Secara global, para ulama' berbeda pendapat mengenai kemanah
harus didistribusikan harta in, akan tetapi ini kita rangkum dalam dua
pendapat.
Pendapat Pertama,
mengatakah bahwasanya harta riba yang terlanjur didapatkan dari jalan yang
haram harus diinfaqkan dalam kepentingan masyarakat umum dan yang tidak
terhormat, semacam pembangunan jalan tol, jalan raya, jembatan, jamban umum membangun
toilet, membangun rumah sakit di palestina misalnya atau membangun sarana
transport umum. Karna pendapat pertama ini tidak membenarkan harta ini
dipergunakan untuk membangun masjid, atau diberikan kepada faqir-miskin.
Pendapat kedua
mengatakan bahwasanya harta riba seharusnya disalurkan pada kegiatan-kegiatan
sosial, baik yang kegunaannya dirasakan oleh masyarakat umum, semisal
pembangunan madrasah atau hanya dirasakan oleh sebagian orang saja. Misalnya
dibagikan kepada fakir-miskin. Pendapat ini tidak menspesifikasikan kemana
harus disedekahkan harta ini, selama itu dapat digunakan oleh masyarakat secara
umum, maka hal ini sudah sesuai dengan aturan syariah. Karna pada dasarnya tidak
ada dalil khusus yang membedakan antara amal sosial yang kegunaannya dirasakan
oleh masyarakat umum dari yang manfaatnya hanya dirasakan oleh sebagian orang
saja. Atau bahkan membedakan apakah ini digunakan untuk hal-hal yang tidak baik
seperti untuk membangun jalan raya, ataukan untuk membangun masjid. Meskipun Dr
Yusuf Qardhawi lebih memilih untuk membangun fasilitas umum yang tidak
berkaitan langsung dengan amal sholeh seperti membangun masjid dan infak anak
fakir-miskin.
Sedangkan menurut penulis, lebih memilih secara global yaitu
penulis berpendapat selayaknya dana masbalah yang ada ini bisa digunakan untuk
kepentingan public apakah itu dirasakan oleh sebagian masyarakat atau
keseluruhan, ataukan digunakan untuk kepentingan yang terlihat baik seperti
membangun masjid ataukah secara umum seperti digunakan untuk membangun toilet
umum atau jalan raya atau bahkan rumah sakit.
Maka kesimpulannya adalah, dari beberapa cara dalam menggunakan
harta haram tersebut atau didunia asuransi syariah disebut dengan dana
masbalah, maka tiga jalan keluar pertama diatas tidak dapat dibenarkan karna
sangat merugikan. Maka yang lebih tepat adalah cara yang keempat, ia
mengambilnya dari bank kemudian ia salurkan keberbagai bentuk amal kebajikan
dengan niat ingin berlepas diri, inilah jalan keluar satu-satunya yang mesti
ditempuh. Tanpa membedakan apakah itu untuk kepentingan umum atau sebagian
masyarakat saja, apakah untuk hal yang baik atau hal secara umum.
Hal ini juga dikuatkan oleh kaidah fikih mengenai pemindahan
kepemilikan merupakan sebab berubahnya hukum barang. Sama halnya seperti jika
kita memiliki uang haram lalu kita salurkan kepada orang fakir miskin artinya
disini terjadi pemindahan kepemilikan sehingga uang haram tadi berubah menjadi
halal ditangan sifakir padahal sebelumnya uang tersebut ditangan orang tersebut
adalah uang haram. Termasuk perkara yang menunjukkan akan hal ini, bahwa
seseorang terkadang bertransaksi dengan orang lain yang boleh jadi uang teman
transaksi tersebut haram dari uang hasil mencuri misalnya.
Taruhlah jika kita membeli sebuah barang dari orang lain atau
anda menjual barang kepada seseorang dan anda menerima uang pembayarannya
sementara anda tidak mengetahui kalau ternyata uang itu adalah hasil mencuri
misalkan maka dalam kondisi ini anda tidaklah berdosa atau bahkan uang
pembayaran tadi adalah bunga riba misalnya sementara anda tidak mengetahuinya,
jika kita haruskan atas setiap orang yang bertransaksi untuk meneliti sumber
uang transaksi atau barangnya niscaya manusia akan dilanda kepayahan yang
berat. Maka dari itu tidak mengapa orang yang ditangannya ada bunga riba tadi
menyalurkannya kepada fakir miskin.
Termasuk pula perkara yang menunjukkan akan kaedah ini adalah
andaikan seseorang ditangannya ada harta haram dari hasil cara yang haram
kemudian ia meninggal maka hartanya termasuk harta haram tadi berpindah kepada
pewarisnya dan menjadi mubah maka berubah hukumnya menjadi halal ditangan
pewaris sebab kaedah (pemindahan kepemilikan merupakan sebab berubahnya hukum
barang). Contohkan saja ada seseorang yang bermuamalah secara ribawi kemudian
ia meninggal maka hartanya seluruhnya berubah menjadi mubah ditangan pewaris,
ini merupakan pendapat mayoritas ulama. Disadur [dari www.taimiah.org]
Maka dari itu, kesimpulannya adalah, dana masbalah yang ada di
asuransi syariah hendaklah diambil dan disalurkan kepada kegiatan yang
bermanfaat bagi masyarakat khususnya masyarakat muslim.
Dasar Hukum
Hal ini
dikuatkan juga oleh pendapat Dr Ahmad Zein Annajah dalam websitenya beliau
merupakan lulusan doctor syariah dari Universitas Al Azhar Kairo Mesir, beliau
memberikan perumpamaan bahwasanya jika harta haram tersebut berasal dari hasil keuntungan
lokalisasi pelacuran, perjudian, penjualan khomr, gaji artis dari pengambilan
foto atau film porno, hasil penjualan rokok, keuntungan bank konvensional yang
menggunakan transaksi riba, bantuan asing, atau harta warisan dari orang yang
mempunyai profesi di atas, serta profesi-profesi lain yang pada dasarnya adalah
perbuatan haram, tetapi dilakukan secara suka rela antara kedua belah pihak
atau lebih, selama hal itu tidak mengikat atau tidak bersyarat serta tidak ada
unsur membantu kebatilan mereka, maka mayoritas ulama membolehkan untuk
memanfaatkan uang tersebut untuk kemaslahatan kaum muslimin, seperti membangun
jembatan, memperbaiki jalan, membeli mobil ambulan, membuat sumur, membuat
tenda-tenda penampungan korban bencana alam dan lain-lain. Harta semacam ini termasuk
dalam katagori “ hak Allah.”
Hal ini
didasarkan pada dalil-dalil dibawah ini yang mengatur bagaimana sebagiknya kita
menggunakan harta yang berasal dari uang riba tersebut dan uang hasil haram
lainnya:
Pertama: dalil Al Quran
Firman Allah
swt:
وَلاَ تَكْسِبُ كُلُّ
نَفْسٍ إِلاَّ عَلَيْهَا وَلاَ تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى
“ Dan tidaklah
seorang membuat dosa melainkan kemudharatannya kembali kepada dirinya sendiri;
dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain.” ( Qs Al An’am :
164 )
Ayat di atas
menunjukkan bahwa siapa saja yang bekerja pada sesuatu yang mengandung
keharaman seperti di Bank Konvensional atau Asuransi Jiwa, atau perjudian yang
menganut system riba, maysir dan gharar (yang mana pekerjaan tersebut adalah
hasil kesepakatan antara mereka sendiri), maka dosanya akan dia tanggung
sendiri, dan dosa ini tidak menular kepada orang lain. Artinya ketika harta
tersebut diinfakkan atau disedekahkan, maka dosa dari orang yang mensedekahkan
itu tidak akan mengalir kepada masyarakat yang menggunakan manfaat dari hasil
aktifitas non halal tersebut misalnya digunakan untuk pembuatan jembatan,
siapapun yang menggunakan jembatan tersebut tidak akan mengalir dosa orang yang
melakukan hal tersebut.
Kedua: dalil dari Al Sunnah
Diriwayatkan
dari Anas bin Malik, ra bahwasanya ia berkata :
أَنَّ يَهُودِيَّةً
أَتَتْ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِشَاةٍ مَسْمُومَةٍ فَأَكَلَ
مِنْهَا
“ Bahwasanya
seorang wanita Yahudi datang memberikan hadiah kepada Nabi saw berupa seekor
kambing yang telah dilumuri racun, lalu beliau memakannya.” ( HR Bukhari dan
Muslim )
Ketiga: Pendapat Para Sahabat dan Pengikutnya
Sebagaimana
kita ketahui bahwa kebanyakan orang Yahudi memakan harta haram seperti riba dan
lain-lainnya, tetapi walaupun demikian Rasulullah saw menerima hadiah mereka.
Bahkan hadiah itu berupa makanan.
Diriwayatkan
bahwa Umar bin Khattab menerima jizyah ( upeti ) dari keuntungan penjualan
khomr Ahli Kitab ( Abdur Razaq, al- Mushonaf, 8/198 )
Upeti yang
diambil Umar dari harta haram tersebut menjadi kas negara dan nantinya
digunakan untuk kepentingan kaum muslimin.
Diriwayatkan
bahwa Ibnu Mas’ud pernah berkata : “Jika anda diajak makan oleh orang yang
hartanya berasal dari riba, maka makanlah. “
Berkata Ibrahim
an Nakh’i : “ Terimalah hadiah dari orang yang hartanya dari riba, selama anda
tidak menyuruhnya atau membantunya “ ( Abdurrazaq, Mushonaf, 8/151 ) Hal
serupa juga disampaikan oleh Salman Al Farisi.
Artinya jika
dengan menerima hadiah tersebut tidak membantu kemungkarannya, maka boleh
diterima, khususnya jika ada manfaatnya untuk kaum muslimin, sekaligus sebagai
sarana dakwah dan ta’lif qulub (meluluhkan hati mereka agar masuk Islam ) .
Berkata Hasan
Al Bashri : “ Sesungguh Allah telah menjelaskan kepada kalian bahwa Yahudi dan
Nashara makan dari harta riba, walupun begitu dihalalkan bagi kalian makanan
mereka “
Dari keterangan
di atas, bisa kita simpulkan bahwa dana-dana bantuan korban bencana atau
bantuan-bantuan lain dari pihak asing maupun dari artis manapun juga, selama
itu menyangkut hak Allah dan tidak ada terkait dengan hak manusia, serta
tidak mengikat, maka hukumnya boleh diterima dan dimanfaatkan untuk
kemaslahatan kaum muslimin.
Kalau kita
menolak bantuan tersebut juga tidak apa-apa. Hanya saja, dikhawatirkan akan
mereka gunakan untuk memperkuat kebatilan mereka, atau membangun proyek –
proyek kemaksiatan lainnya, bahkan justru dimanfaatkan untuk memerangi kaum
muslimin. Sehingga secara tidak langsung, seakan-akan kita telah memperkuat dan
membantu kebatilan mereka dengan mengembalikan harta tersebut, padahal hal itu dilarang
oleh Allah swt, sebagaimana di dalam firman-Nya :
وَلاَ تَعَاوَنُواْ
عَلَى الإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
“ Dan jangan
tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. “ (QS Al Maidah : 2)
jadi kita gunakan Harta
tersebut untuk kebutuhan yang lebih banyak manfaatnya, maka kita termasuk
orang-orang yang tolong menolong dalam kebaikan seperti halnya ayat ini dipakai
sebagai dasar diperbolehkannya konsep Takaful atau biasa di kenal dengan konsep
‘asuransi syariah’.
Kesimpulan
Pertumbuhan industry keuangan syariah
baik itu asurasni syariah, perbankan syariah, dan pasar modal syariah yang
hingga saat ini terus menunjukkan angka positif selayaknya harus diikuti dengan
masuknya nilai-nilai islam disetiap kebijakan dan keputusan, baik itu dari
Dewan Syariah Nasional Majlis Ulama Indonesia, atau Regulator yaitu Bank
Indonesia dan BAPEPAM-LK ataupun dari pelaku industry keuangan syariah itu sendiri.
Sehingga tumbuhnya industry keuangan syariah ini betul-betul murni sesuai
dengan nilai-nilai syariah yang berlaku tanpa harus mengorbankannya demi profit
semata.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan
beberapa poin dibawah ini, antara lain;
Pertama, bahwasanya dana masbalah
haruslah, unjust profit atau non halal income tersebut harus secepat mungkin
didistribusikan untuk kepentingan public baik itu bersifat kepentingan umum
ataupun kelompok umat muslim tertentu misalnya didistribusikan hanya kepada
yayasan fakir miskin dibeberap tempat di Jakarta atau bahkan diseluruh
Indonesia, atau bahkan digunakan untuk kepentingan umum seperti jalan raya yang
mengalami kerusakan yang membutuhkan bantuan dari dana tersebut.
Kedua, haruslah diketahui bahwasanya dana
tidak halal ini bukanlah hak perusahaan keuangan syariah, dikarnakan ini adalah
hak allah, jadi lembaga keuangan syariah tidak berhak mengklaim hal ini sebagai
profit atau asset mereka karna hal ini tidak dibenarkan secara syariah.
Ketiga, selayaknya industry keuangan
syariah mengurangi hal-hal yang bersifat pelanggaran terhadap nilai nilai
syariah seperti ikut nimbrung di produk konvensional atau bahkan memberikan
pembiayaan yang pada dasarnya melanggar prinsip syariah.
Selain itu juga, lembaga keuangan syariah
haruslah memiliki guidline khusus dalam GCG mereka sehingga tidak ada
norma-norma syariah yang dilanggar. Wallahua’almi
bisshawab
Penulis adalah Shariah Compliance Group PT Takaful
Indonesia, Founder and CEO iIIF iMan Institute of Islamic Finance sebuah
Lembaga Konsultan Keuangan Syariah (Asuransi, Perbankan, Pasar Modal, Pegadaian
Syariah), pernah menjadi Faculty Member (Trainer) Keuangan Syariah di Lembaga
Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI). Beliau juga Aktif sebagai Sekretaris
Ikatan Ahli Ekonomi Islam (DPP IAEI Pusat), selain itu, beliau juga Dosen
Asurnasi Syariah, Perbankan Shariah dan Pasar Modal Shariah di Universitas
Muhammadiyah Jakarta, Universitas Al Azhar Indonesia, UIN Jakarta, Pascasarjana
Universitas Trisakti, Universitas Islam Az Zahrah, Konsultan Asuransi Shariah,
Perbankan Shariah dan Pasar Modal Shariah Zakirah Group, Trainer Fikih Muamalah
on Islamic Banking and Finance Di Iqtishad Consulting MES, R&D WakafPro99
Dompet Dhuafa Jawa Barat, Ph.D Islamic Banking and Finance (IIiBF)
International Islamic University Malaysia. Selain itu, beliau juga sering
diundang jadi pembicara baik itu dalam maupun luar negri.
Sumber: Majalah Sharing 2013 beberapa Edisi