Islamic Derivative?
Oleh: H.M. Iman Sastra Mihajat, Lc, PDIBF, MSc Fin, PhD.c
(Faculty Member ICDIF-LPPI dan Sekretaris DPP IAEI 2011-2015)
Permasalahan system keuangan kapitalis adalah menggunakan riba disetiap instrumen keuangannya sehingga menyebabkan ketidak stabilan ekonomi dan berakibat pada gap antara si miskin dan si kaya semakin jauh. Ketidak adilan system ini juga telah terbukti dengan terjadinya krisis berkali-kali diberbagai belahan dunia, dari krisis moneter keuangan asia pada tahun 1997-1998 yang menimpa Negara-negara seperti Thailand, Malaysia, Taiwan, termasuk negri kita tercinta, Indonesia. Hal ini disebabkan oleh para spekulan yang bergerak bebas didalam pembelian mata uang Negara-negara tersebut dan pemerinta membiarkan pergerakan nilai mata uang pada pasar, yang pada akhirnya menyebabkan nilai mata uang turun terhadap dollar melebihi 1000 persen. Amerika, dengan superpowernya meminta pemerintah Negara Asia untuk membiarkan nilai mata uang mereka diserahkan kepada pasar dan hal ini diikuti oleh Negara-negara terkait kecuali Malaysia pada waktu itu dibawah kepemimpinan Mahatir Muhammad. Dimana pergerakan Ringgit pada waktu itu ditetapkan oleh pemerintah sehingga untuk spekulasi akan merugikan para spekulan. Hal ini dilakukan oleh beliau agar spekulan tidak bergerak bebas mengobrak abrik mata uangnya.
Dari research yang pernah penulis jalankan, uang yang beredar di dunia saat ini 80% lebih hanya berputar di pasar derivative yang berimplikasi pada pergerakan industri riil di system keuangan saat ini hanya kurang dari 5 persen da selebihnya pergi ke pasar modal, perbankan, pasar uang dan lain lain. Maka dari itu kita banyak mendapati bahwasanya ketika terjadi perbaikan ekonomi yang diklaim oleh pemerintah, akan tetapi hal ini tidak dirasakan oleh masyarakat yang ada di pinggiran jalan dan pedagang-pedagang kecil yang pada kenyataannya pertumbuhan dan perbaikan ekonomi ini hanya dirasakan oleh pemegang modal besar dan yang punya uang.
Tidak hanya itu, sepuluh tahun kemudian, krisis terjadi lagi dengan runtuhnya perbankan besar Lehman Brothers dan asuransi terbesar dunia yaitu AIG. Hal ini sangat mencengangkan dunia dimana Bank yang memiliki manajemen risiko terbaik dan mengimplementasikan konsep Basel bisa bangkrut. Bahkan ada beberapa ekonom menyebutkan bahwasanya dua institusi ini sangat susah untuk runtuh karna terlalu besar (too big to fail). Hal ini berimbas kepada perekonomian dunia dimana yang berinvestasi pada lembaga besar ini adalah dari seluruh dunia. Baiknya pada saat itu keuangan syariah tidak terlalu kena dampat negatif dari Subprime Mortgage krisis ini.
Dua tahun kemudian, krisis dunia Eropa tidak dapat terbendung lagi, yunani akhirnya dideklarasi bangkrut diikuti dengan Italia yang berimbas pada mundurnya presidennya diakibatkan tidak mampunya untuk mengatasi krisis eropa. Hal ini akan terus berimbas kepada Negara Negara eropa lainnya termasuk Amerika yang sebenarnya sudah menjadi Negara bangkrut akan tetapi mendapat belas kasihan dari China sebagai pemegang surat hutang Negara terbesar yang melebihi USD 1 triliun.
Penyebab utama semua ini adalah system keuangan yang digunakan tidak sesuai dengan syariah dimana uang hanya berputar kepada si kaya (kapitalisme) sedangkan si miskis terus merasakan kemiskinannya hingga meninggal dunia. Maka dari itu haruslah ada system keuangan yang bisa mengatur semua ini dengan baik, dimana uang harus adil perputarannya tidak hanya pada si kaya akan tetapi juga mengalir pada si miskin (likay laa yakuuna duulatan bainal aghniyaa i minkum). Selain itu, system pendistribusian keuangan yang adil juga diterapkan oleh islam dengan konsep Zakat, infaq, sadaqah dan Wakafnya. Dimana si kaya harus membagikan 2.5% dari kekayaaannya untuk si miskin yang kekurangan sehingga tidak menciptakan cost bagi Negara, dimana jikalau terjadi kelaparan, maka akan terjadi kejahatan.
Maka dari itu, haruslah diganti dengan system yang adil, tertata dengan baik, focus ke sector ril dan menjadi rahmat bagi semesta alam. Ialah System keuangan Syariah. Yang mana system ini telah diakui oleh seluruh Negara dan bahkan Negara yang notabene non-muslim pun mengakui keadilan konsep keuangan sehingga berbondong-bondong ingin menjadi international hub keuangan syariah. Salah satu hal menarik yang beberapa bulan ini terjadi di depan wall street Amerika dimana para demonstran berunjuk rasa dan menriakkan pergantian system keuangan yang ada di Amerika dengan system keuangan syariah meskipun dengan kata “Ganti system Keuangan dengan Cara Muslim Way”. Akan tetapi mempunya maksud sama yaitu system keuangan syariah.
Keuangan Syariah Sebagai Solusi
Didalam syariah, instrumen Derivative yang ada di pasar modal sangat dilarang terutama instrumen ini mengandung riba, maysir dan gharar. Dimana Allah swt telah mendeklarasikan peperangan kepada yang masih menggunakan system riba ini yang mana hal ini tidak terjadi kepada larangan yang lain. Ketika terjadi larangan yang keras dan sampai pelaknatan dan deklarasi peperangan kepada pengguna system ini, berarti ada dampak yang sangat besar disana yang akan terjadi jiakalau hal ini masih digunakan. Hal ini telah terbukti hampir setiap 10 tahun sekali dari awal system ini dulu dipakai. Dan tidak tanggung-tanggung krisis ini banyak menyebabkan orang bunuh diri karna tidak sanggup lagi untuk hidup menghadapi system keuangan yang jahat.
Dibalik itu, instrumen derivative ini sebenarnya digunakan oleh lembaga keuangan dan pasar modal termasuk lembaga reksadana, asuransi dan perusahaan-perusahaan yang memerlukan instrumen untuk hedging disetiap transaksi mereka. Seperti perusahaan Pertamina misalnya, ketika ingin mengimpor barang dari luar dan melakukan pembayaran dengan dollar di 3 bulan berikutnya, otomatis disana ada risiko jika Pertamina tidak meng hedge posisi dia dengan membeli salah satu instrumen di derivative untuk mengurangi risiko kenaikan dollar di 3 bulan kemudian. Jika tidak, maka pertamina akan berspekulasi pada pergerakan dollar di 3 bulan mendatang. Iya jikalau nilai tukar rupiah menguat terhadap dollar, jika nilai tukar rupiah melemah maka hal ini akan menambah cost bagi Pertamina. Maka dari itu untuk mengamankan posisi nya di transaksi jual beli ini, mereka harus membeli instrumen derivative untuk keperluan hedging.
Mungkin pertanyaanlah adalah, bisakah keuangan syariah memberikan solusi kepada lembaga-lembaga yang ingin mengamankan posisi mereka untuk mengurangi risiko baik risiko pertukaran nilai mata uang ataupun nilai dari sebuah komoditas dan lain sebagainya?
Derivative
Instrumen yang ada di derivative terdiri menjadi tiga bagian, pertama futures, baik itu futures dan forward, kedua, option, baik call dan put, ketiga ada swap, baik itu interest rate swap, currency swap, cross currency swap, credit default swap (CDS) dan lain lain (lihat diagram 1). Secara definisi derivative adalah nilai sebuah instrument yang sangat tergantung pada nilai turunan awal atas dasar underlyingnya. Macam-macam asset turunan yang biasa digunakan di pasar derivative ini adalah antara lain: saham, Forex, obligasi, komoditi, emas dan indeks. Sementara derivative yang di gunakan untuk melindungi nilai (meminimumkan kerugian) yaitu: Forward, Future, Swap dan Option.[1] Sifat alami dari derivative adalah tidak pasti dan mengandung risiko yang sangat tinggi. Beberapa instrumen derivative ini melakukan perdagangannya di bursa dan sebagian yang lain lagi di luar bursa (OTC-over the counter).
Menurut www.investopedia.com derivative adalah instrumen keuangan atau kontrak yang mana nilainya itu berdasarkan dari nilai underlying. Dikarnakan derivative ini hanyalah kontrak dan apapun bisa menjadi underlying assetnya. Maka dari itu sering kita menemukan underlying yang digunakan di derivative kadang-kadang tidak masuk akal seperti underlying asset berdasarkan credit atas sebua perusahaan, underlying asset berdasarkan cuaca sebuah Negara apakah Hujan, Panas, Musim dingin, musim salju dan lain lain. Hal ini dipakai dikarnakan produksi sebuah padi misalnya, baik buruknya produksi padi ini bergantung pada cuaca karna kalau musim hujan trus menerus, maka produksi akan menurun, atau kalau musim kemarau terus menerus produksi akan tidak baik. Inilah yang dijadikan underlying asset didalam transaksi ini. Tidak hanya padi, produksi wortel, gandum dan produk pertanian lainnya itu berdasarkan cuaca setempat yang berimplikasi kepada hasil panes diwaktu kemudian.
Salah satu instrumen yang biasa dipakai juga dan instrumen ini sangat diminati oleh pelaku pasar conventional adalah instrumen derivative yang menggunakan index lemak babi (lard index). Yang lebih menariknya lagi dari data pasar yang ada, bahwasanya lard ini hanya bisa mensupply 25% dari permintaan pasar yang ada, berarti jikalau ada 100 orang yang membutuhkan lemak babi, maka supply nya hanya bisa mensupply 25 orang saja, 75 yang lain akan berusaha mati-matian bagaimana supaya dia bisa mendapatkan lard ini. Sedangkan menurut teori ekonomi, ketika permintaan lebih besar dari supply yang ada, maka harganya akan melambung. Mungkin bisa kita bayangkan berapa harga lard ini dipasaran yang dari segi index nya akan naik terus.
Ada beberapa alasan kenapa lard ini sangat laris dipasaran dunia, pertama lard ini bisa dipakai untuk apa saja dalam memproduksi sesuatu, seperti makanan kebanyakan saat ini diproduksi mengandung lemak babi yang secara syariah ini sangat dilarang. Kedua, produksi nuklir sekalipun menurut data yang penulis dapatkan membutuhkan lemak babi agar nuklir yang diproduksi tersebut bisa baik. Ketiga, ketika para investor melihat hal ini sangat menggiurkan, maka otomatis peminat dari index ini sangat banyak sekali yang menyebabkan harganya semakin lama semakin tinggi.
Meskipun pada dasarnya instrumen derivative ini hanya untuk meminimkan risiko, tapi pada kenyataannya dipasar berbeda dikarnakan instrumen ini banyak digunakan spekulan untuk spekulasi hanya berapa persen saja instrumen ini betul-betul digunakan untuk hedging. Maka dari itu secara syariah hal ini sangat bertentangan karna Islam melarang judi (maysir). Kedua, sifat alami instrumen derivative ini menggunakan bunga (riba) didalam setiap transaksinya yang mana ini sangat diharamkan didalam syariah. Ketiga, permasalahan underlying yang digunakan terkadang betul-betul komoditas atau hanya perdagangan uang. Keempat, pada saat jatuh tempo apakah pembeli betul-betul ingin memiliki komoditas yang dia beli atau hanya sett off posisi dia baik ketika posisi in the money (berarti positif dan mendapatkan keuntungan) atau out of the money (berarti negative yang artinya kalah dalam berspekulasi).
Underlying instrumen yang ada di derivative berbacam-macam, baik komoditas, produk yang digunakan biasanya produk pertanian (gandum, barley, coklat, dan lain lain), metal (emas, perak) dan energy (seperti CPO, gas dll) ataupun instrumen keuangan seperti ekuitas, mata uang, stock index, suku bunga seperti 3 bulan JIBOR (Jakarta inter bank offering rate).
Dari semua penjelasan konvensional derivative, banyak sekali permasalahan baik dari aspek syariah aspek yang bertentangan dengan syariah ataupun secara ekonomi yang tidak mengimplikasikan dan berkaitan langsung kepada sector ril.
Islamic Derivative?
Perdebatan permasalahan halal haram islamic derivative ini sangat kompleks di antara para ulama kontemporer. Meskipun secara mayoritas mengharamkan implementasi derivative konvensional, akan tetapi ketika masuk kepada syariah, instrumen ini sangat kompleks dan dari sifat alaminya memang telah bertentangan dengan syariah. Akan tetapi ada beberapa ulama yang menstruktur skema baru yang mirip dengan derivative akan tetapi menghilangkan instrumen-instrumen yang dilarang oleh syariah disetiap kontraknya. Akan tetapi ulama kontemporer yang membolehkan akad ini hanya menekankan produk keuangan syariah yang controversial ini hanya untuk hedging dan meminimalkan risiko sebuh transaksi.
Akan tetapi, dibalik itu semua ada yang sangat keras sekali menenang dengan adanya Islamic derivative ini seperti Syeikh Taqi Usmani. Yang mana menurut pendapat beliau bahwasanya derivative ini tidak bisa disyariahkan dan hal ini bertentangan dengan nilai-nilai islam. Pernah pada suatu international conference di luar negri beliau ditanya oleh salah satu audience pada saat itu, bagaimana menurut anda dengan instrumen Islamic derivative yang baru saja digagas oleh sebagian dengan pengawas syariah akhir akhir ini? Sang syeikh langsung terdiam dan berubah raut wajahnya. Kemudian beliau menjawab:”take back your question, I do not want to aanswer.” Maksudnya adalah ambil kembali pertanyaanmu, karna saya tidak mau menjawab pertanyaan itu. Lalu beliau meneruskan, “saya akan menjawab pertanyaan itu kalau nanti ada “Isalmic Riba” ada di keuangan syariah. Atau dengan bahasa kita bahwasanya beliau akan menjawab pertanyaan ini kalau misalnya sudah ada yang mengesahkan ‘bunga bank syariah’.
Memang notabene instrumen derivative ini menggunakan alat-alat yang telah diharamkan oleh Syariah, akan tetapi jikalau kita rubah strukturnya dan hapus semua yang diharamkan mungkin ini bisa jadi instrumen yang kompetitif bagi industri keuangan syariah. Seperti hal nya sukuk dibandingkan dengan obligasi (bond), mereka memiliki kemiripan dalam hal pembiayaan sebuah proyek, akan tetapi struktur sukuk berbeda dengan obligasi dimana sukuk harus memiliki beberapa asset untuk disekuritisasi dimana obligasi bisa diterbitkan tanpa harus memiliki asset seperti yang syariah wajibkan. Sama saja dengan derivative dibandingkan dengan Islamic derivative atau bisa kita ganti bahasanya dengan bahasa yang bisa diterima oleh masyarakat secara umum dikarnakan image derivative itu sendiri sudah buruk, akan tetapi secara struktur akad mereka sangat memiliki perbedaan yang mendasar.
Seperti pada instrumen Futures dan Forwards di derivative, bisa kita lihat kenapa produk ini dilarang didalam syariah. Pertama, pada dua instrumen ini ada kandungan ribanya, maka dari itu kita hilangkan riba yang ada didalamnya. Kedua, dua kontrak ini mengakhirkan barang dan harga pada saat transaksi, sedangkan didalam syariah kita dilarang untuk mengakhirkan dua hal ini. Jika ini penundaan disebuah transaksi hanya satu saja yang bisa diakhirnya baik itu harganya nanti dibayar akan tetapi barangnya sekarang (seperti jual beli tidak tunai) ataupun pengakhiran barang dan uangnya didahulukan (seperti jual beli salam). Hal ini berdasarkan konsep larangan pengakhiran barang dan harga (Laa Yajuuzut Ta’jil Al Badalain). Ketiga, jual beli barang dimana barang tersebut tidak dimiliki oleh penjual. Hal ini sangat dilarang oleh syariah karna akan menimbulkan spekulasi dan hal ini sudah ditekankan oleh rasulullah saw bahwasanya:
“Laa Tabi’ Maa Laisa ‘Indak, atau Laa Tabi’ Maa Laa Tamlik”.
“janganlah kalian menjual apa yang tidak kalian miliki, janganlah kalian menjual sesuatu yang tidak kalian empunyai”
Dari hadis ini bahwasanya, transaksi syariah tidak boleh menjual beli barang yang tidak dimiliki oleh seseorang yang maksudnya adalah ketika sebuah perusahaan ingin meminimalkan risiko transaksi di 3 bulan kemudian dalam membeli sebuah mesin dari luar, maka jika tujuannya adalah untuk meminimalkan risiko transaksi ini, maka hadis ini tidak termasuk menjadi larangan.
Maka dari itu, jika kita bertujuan ingin meminimalkan risiko sebuah transaksi maka hal ini bisa digunakan. Perbedaan forward dan futures hanya pada tradability nya di market dimana forward tidak dapat di perjual belikan hingga jatuh tempo sedangkan futures dapat diperdagangkan kapanpun pemiliknya mau menjualnya.
Salah satu instrument forward yang sudah ada syariahnya adalah Islamic Forward Currency Exchange menggunakan akad tawarruq dan wa’d. (lihat diagram 2.1 dan 2.2)
Diagram 2.1
Diagram 2.2
akad ini digunakan untuk keperluan meminimalkan risiko mata uang dolar yang dibutuhkan setelah satu tahun. Biasanya kontrak ini digunakan oleh perusahaan minyak Negara Seperti Pertamina, Petronas, Shell, Exon Mobile dan lain lain yang ingin membeli mesin dari luar menggunakan mata uang luar Negara, maka dari itu mereka memerlukan instrumen yang bisa mengurangi risiko mereka setelah satu tahun kemudian.
Instrumen yang lain yang ada diderivative adalah option, baik itu call ataupun put option. Call option adalah sebuah instrumen keuangan yang mana pembeli instrumen ini punya hal untuk membeli dikemudian hari. Contoh ketika sang pembeli melakukan call option komoditas emas 3 bulan kemudian misalnya, maka ketika jatuh tempo maka pembeli berhak membeli emas yang telah disepakati diawal. Sedangkan put option adalah sebuah instrumen keuangan yang mana pembeli berhak menjualnya di pasar ketika jatuh tempo. Misalnya put option stock 3 bulan. Maka 3 bulan kemudian ketika jatuh tempo maka pembeli instrumen ini berhak menjual stock nya di pasaran berdasarkan harga yang telah disepakati diawal.
Jika melihat aspek syariahnya, maka option meliki instrumen riba didalamnya, spekulasi dan penjualan barang yang tidak penjual miliki. Hingga sampai saat ini belum ada struktur Islamic option yang digunakan meskipun ada opini bahwasanya bisa menggunakan konsep khiyar akan tetapi ini masih sangat bertentangan dengan nilai dan prinsip syariah. Akan tetapi seperti diatas dijelaskan, ada yang menggunakan option menggunakan akad wa’d (diagram 2.2).
Instrumen lainnya yang ada di derivative adalah Swap. Seperti yang kita ketahui, permasalahan utama yang menyebabkan terjadinya subprime mortgage krisis adalah banyaknya instrumen credit default swap yang ada di pasar modal amerika pada waktu itu yang menyebabkan seluruh lini keuangan dunia terkena dampaknya baik secara langsung atau bahkan tidak langsung. Meskipun inti permasalahannya hanya terletak ketidak mampuan mortgage borrower (atau dikenal dengan istilah ninja borrowers) tidak mampu membayar cicilan hutang, akan tetapi cicilan hutang ninja borrowers ini disekuritisasi dan dijual di pasar sekunder yang notabene rating dari lehman brothers adalah AAA+ yang bermaksud tidak mungkin bank terbesar didunia ini akan bangkrut dan pasti akan mampu membayar tanggung jawab mereka. Akan tetapi permasalahannya adalah sertifikat yang notabene sampah ini banyak diminati oleh para investor dan ditambah lagi dengan ulah spekulan yang membeli CDS didalam instrumen ini. Ketika terjadi gagal bayar, tidak hanyak satu sisi kena imbasnya akan tetapi semua lini pasar terkena dampak negatifnya.
Maka dari itu, syariah melarang instrumen ini digunakan dikeuangan syariah dikarnakan fitur yang dimiliki oleh instrumen ini sangat kental dengan unsure spekulasi dan riba.
Akan tetapi, ada sesuatu hal yang menarik yang terjadi saat ini, ketika CDS ini dipermasalahkan oleh pakar ekonomi baik syariah dan konvensional. Ada sebuah produk keuangan syariah yang ditemui di Malaysia saat ini yaitu Islamic Credit Default Swap. Jika kita lihat dari nama instrumennya hal ini meyebabkan system keuangan syariah yang ada saat ini hanya menjiplak konsep keuangan konvensional yang notabene itu bertentangan denan nilai-nilai islam. Atau dengan bahasa umumnya produk keuangan syariah sekarang cuma sekedar memakai label syariah sehingga praktek yang terjadi dilapangan itu adalah konsep riba dan akan berdampak buruk bagi ekonomi kedepan.
Akan tetapi setelah penulis teliti dan bertanya langsung ke praktisinya, ternyata ini adalah instrumen yang dengan kata lain adalah Islamic Profit Rate Swap. Dimana misalnya ketika iB A melakukan pembiayaan dengan nasabahnya menggunakan floating rate sedangkan iB A memandanga bahwasanya kedepannya floating rate tidak baik untuk pemasukan bank syariahnya maka dari itu iB A akan mencari iB B yang ingin swap (tukeran) dengannya sehingga kedepannya iB A bisa memaksimalkan profit bank syariahnya. Disisi lain, iB B yang melakukan pembiayaan dengan nasabahnya menggunakan fix rate (10%), sedangkan menurut analisa iB B bahwasanya kedepannya ekonomi akan membaik dimana floating rate bisa lebih tinggi dari fix rate. Maka dari itu iB B akan mencari iB A untuk swap satu sama lain.
Alasan dibalik terjadinya transaksi Islamic Profit Rate Swap ini adalah disebabkan karna pertama, perbedaan persepsi antara iB A dengan iB B kedepannya setelah mereka melakukan analisa-analisa. Kedua, motifnya adalah untuk meminimalkan risiko dan ketiga untuk pemaksimalan profit yang didapatkan oleh bank syariah tersebut.
Jika misalnya kedepan ternyata floating rate naik hingga 12%, maka iB A akan berada disposisi out of the money dan kedua bank tinggal men set off dan iB B akan membayar kepada iB A 2% perbedaan antara fix dan floating. Akan tetapi jika sebaliknya, floating rate pada saat itu hanya 8%, maka iB A yang akan membayar 2% kepada iB B melalui broker. (lihat diagram 3)
selain IPRS, ada banyak instrumen swap yang lain yang bisa dijadikan instrumen keuangan syariah akan tetapi haruslah sesuai dengan syariah tidak melanggar aturan-aturan yang ada didaam nilai dan prinsip syariah. Diantara lain instrumen yang bisa digunakan dan bisa dijadikan bahan untuk diresearch adalah Islamic Currency Swap, Islamic Commodity Swap, Islamic Cross Currency Swap, Islamic Index Swap using Weather dan lain lain.
Penutup
Jika kita bandingkan dengan indusri keuangan konvensional, industri keuangan syariah masihlah seumur jagung. Maka dari itu perlulah banyak dilakukan research dan training untuk mengedukasi publik tentang keuangan syariah. Jangan sampai orang-orang yang terjun langsung di di industri keuangan syariah (praktisi) membuat statemen yang merugikan keuangan syariah itu sendiri seperti mengatakan bahwasanya konsep keuangan syariah sama saja dengan konsep keuangan konvensional yang hanya merubah namanya saja akan tetapi aplikasinya sama. Secara otomatis statemen ini akan menggangu secara langsung maupun tidak langsung perkembangan keuangan syariah ke depan.
Maka dari itu, training-training keuangan syariah baik dari instrumen dan produk produknya, aspek legal dan syariahnya dan inovasi produk industri keuangan syariah, dan hal hal lain yang berhubungan dengan keuangan syariah sangatlah diharapkan sehingga edukasi para praktisi yang muallaf dan publik bisa menjadi starting point bagi majunya industri keuangan syariah ke depan.
Kedepan, diharapkan adanya training tentang Islamic Derivative yang dilakukan oleh lembaga-lembaga bonafit seperti ICDIF LPPI yang telah terkenal dikalangan lembaga keuangan syariah baik produk produk yang sudah ada dipasaran maupun produk yang akan dipasarkan sehingga harapan kita atas perkembangan industri keuangan syariah yang lebih baik dan perkembangannya yang menyentuh double digit bisa segera terealisasi. Yang pastinya hal ini tidak lengkap jika tidak ada dukungan pemerintah kedepannya dimana tidak hanya tuntutan masyarakat akan tetapi dukungan pemerintah juga sangat diharapkan seperti BI dan BUMN. Wallahua’lamu bisshawab
Penulis adalah Faculty Member (Trainer) Keuangan Syariah di Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (ICDIF-LPPI). Beliau juga Dosen Perbankan Shariah dan Pasar Modal Shariah di Universitas Al Azhar Indonesia, Dosen Pasca Sarjana di Univ Islam Az Zahra, Universitas Trisakti, Konsultan Asuransi Shariah, Perbankan Shariah dan Pasar Modal Shariah Zakirah Group, Trainer Fikih Muamalah on Islamic Banking and Finance Di Iqtishad Consulting MES, R&D WakafPro99 Dompet Dhuafa Jawa Barat, Kandidat Ph.D Islamci Banking and Finance (IIiBF) International Islamic University Malaysia.