Saturday, July 30, 2011

BRidging the Gap antara Teori Dan Praktek Industri Keuangan Syariah


BRidging the Gap antara Teori Dan Praktek Industri Keuangan Syariah

E-mailPrintPDF
Pendahuluan
Teori dan konsep dalam sistem keuangan syariah masih terbilang baru. Termasuk istilah-istilah yang dipakai kebanyakan berasal dari dua bahasa, yaitu Bahasa Arab dan Bahasa Inggris. Berbeda dengan konsep keuangan konvensional yang murni berasal dari bahasa inggris dikarenakan penyusunan konsep perbankan konvensional yang ada sekarang berasal sepenuhnya dari Negara barat. Karena penyusunan risk management, basel, good corporate governance, pengembangan produk-produk perbankannya di design oleh mereka, jadi wajar jikalau yang digunakan rata-rata adalah bahasa inggris.
Akan tetapi jika masuk dalam konsep dan system perbankan syariah, banyak hal-hal baru yang harus kita pelajar lagi yang mana hal ini mungkin belum pernah dibahas detail oleh keilmuan sebelumnya. Jikalau stakeholder perbankan syariah tidak update dengan istilah-istilah yang dipakai dan isu-isu yang berkembang, maka akan terjadi gap antara teori dan praktek.
Seperti yang diketahui, dalam konsep, system dan produk yang ada di industri perbankan syariah banyak sekali menggunakan bahasa arab yang ini merupakan sebuah tantangan bagi kalangan pemain industri perbankan syariah untuk belajar dan meng-update ilmu mereka sehingga tidak terjadi miss-persepsi antara keuangan syariah dan konvensional. Dalam hal ini tidak hanya menyesatkan sang pemain sendiri, akan tetapi menyesatkan seluruh stakeholder yang ada termasuk praktisi lain yang ingin tahu dan belajar dari dia, akan tetapi juga sang nasabah yang bertanya kepada pemain ini sehingga muncullah pandangan bahwasanya konsep, system dan produk perbankan syariah sama saja dengan konvensional.
Dari pihak akademisi pun juga demikian. Masih banyak sekali terjadi kesalahpahaman dari para akademisi yang mengaku ingin memiliki perbankan syariah secara ideal dengan menggunakan bahasa fikihnya akan tetapi tidak menguasai betul bagaimana hukum syariah melihat sebuah produk dan system ini. Kadangkala masih kita temui seorang professor yang katanya ahli dalam syariah, akan tetapi pemahamannya dalam syariah ketika melihat sebuah masalah tidak layak disebut seorang professor syariah. Salah satu contoh beliau mengatakan bahwasanya “tidak syariah jikalau dalam transaksi muamalah itu, profitnya dulu diambil sedangkan modalnya diambil dikemudian hari”. Sedangkan, didepan sekali kaidah fikih sudah menjelaskan dalam muamalah hukumnya segala muamalah itu adalah boleh kecuali jikalau terdapat larangan didalamnya. Sedangkan konsep ini tidak ada larangannya dalam syariah. Terkadang seseorang itu masih menghukumi sesuatu dengan akal dan logika, bukan bersandarkan pada metode pengambilan hukum yang ditetapkan dalam syariah (al-quran, sunnah, ijma’, qiyas, ijtihad, mashalih mursalah, istihsan, istishab, qaul shahabi, syar’un man qoblana).
Dari pihak akademisi konvensional pun kadang-kadang masih terdapat kesalahfahaman dalam memahami perbankan syariah dan prakteknya dilapangan. Masih banyak dari akamedisi konvensional ini melihat syariah itu secara sempit, padahal tidak pernah belajar syariah seakan-akan apa yang dikatakannya adalah syariah. Dan yang sangat menyedihkan lagi, ini diajarkan oleh mereka-mereka di kelas-kelas syariah, sehingga terciptalah kesalahpahaman dalam mempelajari ekonomi syariah.
Kalau kita lihat sekarang pun, menjamurnya pembukaan S2/master dalam keuangan dan ekonomi syariah tidak diikuti dengan sumber daya manusia yang kompeten dan kuat. Sehingga ada salah satu universitas ternama di Indonesia membuka S2 shariah banking akan tetapi yang mengajar tetap orang konvensional, tanpa menyertakan tenaga ahli yang berkompeten dalam bidang ekonomi syariah. Termasuk kenyataan yang ada sampai saat ini, kita masih banyak mendapati pelajaran-pelajaran yang ada di S2 ekonomi dan keuangan syariah ini di ajar oleh orang yang bukan ahlinya, seperti professor tarbiyah, yang bisa berbahasa Arab, diberikan ruang untuk mengajarkan fikih muamalah, maka akan terjadilah kerancuan dalam memahami fikih muamalah.
Dan hal yang paling menyedihkan lagi yang harus kita telan adalah, ketika seseorang dengan jurusan keuangan syariah, akan tetapi banyak hal yang belum didapatkan mengenai keuangan syariah, seperti konsep riba, gharar, iwad dalam perbankan syariah, sekuritisasi asset, konsep bay’ al-dayn, risk management, shariah governance dalam perbankan syariah, dan banyak lagi yang seharusnya mereka sudah menguasai ini karena lulusan Islamic finance, akan tetapi pada kenyataannya keluar dari S2 ini mereka masih jauh dari harapan.

Pelajaran Dari Negara Tetangga Malaysia
Kalau kita mau belajar dari Negara tetangga Malaysia, sekarang gap antara teori dan praktek bisa dikatakan telah terselesaikan masalahnya. Penyebab utama mungkin pada perkembangan perbankan syariah di Malaysia menjadi pusat dari perbankan syariah global. Yang kedua yang menjadi penyebabnya adalah, para akademisi mereka sangat update dengan mengikuti training-training perbankan syariah meskipun sudah mendapat gelar doctor, trus belajar, dan bahkan bertanya kepada para praktisi mengenai konsep prakteknya sebuah produk keuangan syariah itu dilapangan tanpa malu-malu.
Maka dari itu, wajar jikalau SDM mereka banyak dipakai di dunia international dan menduduki sebagai dewan pengawas syariah di beberapa lembaga keuangan syariah di berbagai Negara, termasuk Eropa, Timur Tengah bahkan Asia, dan termasuk menjadi penasehat dalam pasar modal syariah yang ada seperti Dowjones, FTSE, Standard & Poor dll. Dan kehebatan mereka dalam penguasaan asuransi syariah, keuangan syariah bahkan pasar modal syariah tidak dapat diragukan lagi.
Mungkin kita sudah biasa mengenal nama-nama international syariah advisor yang duduk di banyak bank syariah international seperti, Prof. Dr. Daud Bakar, Dr. Aznan Hasan, Dr. Asyraf Wajdi, mereka hampir sejajar dengan Syeikh Taqi Usmani, Syeikh Nizham Yaqubi dan banyak lagi. Hal ini seharusnya menjadi pelajaran penting bagi kita supaya dewan syariah Indonesia juga bisa menduduki kursi-kursi international syariah advisor.

Dimana Dewan Syariah Indonesia?
Kalau dilihat dari sumber daya manusia yang ada di Indonesia, kita tidak kalah bahkan kita bisa lebih hebat dari mereka. Akan tetapi masih ada permasalahan unik di Indonesia ini, bagi orang-orang yang sudah duduk di atas dan di kenal secara nasional enggan meng-update ilmunya, jadi sangat terlihat ketika ada sebuah forum international dimana disana ada orang Indonesia dan Malaysia, ternyata pembicara Indonesia yang sudah ternama ini ilmunya masih umum sekali. Jadi wajar saja kalau tidak di pakai untuk menduduki dewan pengawas syariah di perbankan global.
Dilihat dari SDM-nya lagi, Indonesia ketika mereka kuliah di berbagai Negara di belahan dunia hampir selalu mengharumkan nama bangsa. Mereka bahkan dipercayai sesuatu yang tidak dipercayakan kepada orang local. Pertanyaannya adalah kemana mereka-mereka ini yang seharusnya bisa memperbaiki ekonomi bangsa.
Kembali ke bahasan di atas, dimana dewan syariah Indonesia kita ketika sangat diperlukan orang-orang yang ahli dalam syariah dan keuangan. Di Indonesia masih banyak sekali terdapat orang-orang yang ahli syariah ini dan duduk di dewan syariah di industri perbankan syariah masih belum menguasai bagaimana bagaimana system dan keuangan syariah itu berjalan, meskipun ada beberapa orang yang expert, akan tetapi masih banyak diduduki oleh orang-orang yang tidak berkompeten untuk duduk disana.
Bahkan diduduki oleh orang-orang yang hanya punya background konvensional dan bisa duduk disana karena skripsi atau thesis dia berkaitan dengan keuangan syariah. Sangat disayangkan sekali penilaian orang-orang yang duduk disini masih sangat jauh dari yang diharapkan. Jangankan paham bagaimana pengambilan sebuah hukum syariah secara baik, justru akan menciptakan ketidaknyamanan di industri perbankan syariah.

Isu-isu Dalam Komoditi Murabahah
Produk yang hangat dibicarakan sampai saat ini adalah tawarruq atau dikenal juga dengan nama komoditi murabahah. Banyak orang yang menyayangkan kenapa Indonesia masih terus tertinggal dan tidak mengimplementasikan produk ini, padahal dari aspek syariah pun tidak ada masalah. Ada beberapa orang yang berargumen bahwasanya konsep yang ada di tawarruq ini tidak sesuai dengan syariah pada prakteknya dengan alasan yang tidak jelas.
Kalau hanya berargumen pada ketidak-syariah-an praktek tawarruq dan komoditi murabahah di beberapa lembaga keuangan syariah di dunia international, maka itu terlalu sempit untuk disimpulkan. Seharusnya hal itu menjadi pelajaran bagi Indonesia supaya tidak menjalankan konsep tawarruq dan komoditi murabahah tidak seperti itu. Berikan paramaters dan guidelines dalam penerbitan produk ini sehingga masalah yang terjadi di perbankan syariah international tidak terjadi di industri perbankan syariah tanah air.
Alasan yang lain yang digunakan oleh DSN MUI adalah karena komoditi murabahah ini menggunakan wakalah didalamnya. Ada masalah apa dengan wakalah? Beberapa dari mereka berargumen bahwasanya kalau ada wakalah maka itu bukan transaksi real. Come on! Dalam dunia pasar uang dan pasar modal hal itu sudah menjadi sebua adat adanya broker sebagai wakil dari pembeli dan penjual, karena tidak mungkin setiap orang datang ke tempat pembelian langsung, yang pastinya akan menggunakan jasa bank atau broker lainnya. Karena transaksi ini bersifat online dan diatur oleh system. Kalau kita ingin sistemnya kembali ke zaman dahulu penulis rasa ini tidak update dengan zaman dan akan menjadikan syariah itu tidak sholih likulli zaman wal makan lagi.
Untuk terus waspada dari konsep konvensional yang ingin diterapkan dalam industri keuangan syariah mungkin suatu hal yang baik, akan tetapi harus juga dilandasi dengan ilmu dan pemahaman terhadap dunia praktek juga. Kalau tidak, kita akan terus tertinggal, jangankan akan menjadi international hub dalam industri keuangan syariah, justru kita akan menjadi makanan empuk bagi Negara-negara yang sangat support dalam hal keuangan syariah.

Tidak Malu Untuk Belajar Lagi?
Seperti pengungkapan di atas, kita harus terus banyak belajar lagi terutama stakeholder di industri keuangan syariah, baik itu asuransi syariah, perbankan syariah dan pasar modal syariah. Banyak yang harus kita kuasai, seperti syariah itu sendiri, karena fondasi dari perjalanan perbankan syariah ini, dari syariah ini, kita juga berarti harus belajar bahasa arab, karena rata-rata ilmunya ditulis dalam bahasa arab. Mempelajari bahasa inggris, karena kebanyakan istilah perbankan digunakan dalam bahasa inggris. Pelajari praktek dunia perbankan syariah, pelajari filosofinya, produk-produk yang ada di keuangan syariah, bahkan cara penghitungannya pun kita harus faham. Jikalau tidak, apalagi yang duduk di dewan pengawas syariah akan memberikan dukungan yang salah karena tidak faham bagaimana cara penghitungannya.
Selain itu, mari para stakeholder industri keuangan syariah, jangan malu-malu untuk ikut training yang berkaitan dalam perbankan syariah, baik itu training fikih muamalah, training system dan operasional perbankan syariah, training pengembangan produk perbankan syariah, training sukuk dan pasar modal syariah dan lain-lain. Sehingga industri keuangan syariah bisa dijalankan dengan semestinya, sesuai dengan syariah, dan betul-betul bermanfaat bagi masyarakat Indonesia khususnya, dan bisa juga dimanfaatkan oleh dunia international pada umumnya.
Kepada para doctor dan professor, untuk terus update dan belajar kembali. Karena apa yang anda pelajari dahulu sudah harus di-update dengan ilmu yang berkembang saat ini. Jika tidak, maka anda akan menyampaikan sesuatu yang sesat kepada mahasiswa-mahasiswa anda yang akan berimplikasi panjang pada perkembangan keuangan syariah di tanah air. Tidak malu untuk ikut training-training, seminar dan majelis ilmu yang bisa memperbaiki pemahaman kita terhadap industri keuangan syariah.

Penutup
Dalam hal industri keuangan syariah tanah air, masih banyak sekali yang harus dibenahi. Terutama dari aspek pengembangan produk, kita masih jauh dari yang diharapkan. Oleh sebab itu, kekurangan ini bukan sebuah alasan kita untuk tidak memajukan industri keuangan syariah di tanah air, akan tetapi menjadi pendorong dan semangat kita untuk terus berbenah. Evaluasi kembali orang-orang yang duduk di dewan syariah baik itu di lembaga keuangan syariah maupun di nasionalnya. Karena masih banyak orang yang lebih kompeten dan layak untuk dijadikan. Sehingga industri keuangan syariah ini betul betul dikawal dengan baik oleh orang-orang yang mempunyai kapabilitas dan kompeten dibidangnya.
Sehingga dalam jangka panjang, kita akan melihat orang-orang indonesia duduk sebagai dewan pengawas syariah dilembaga-lembaga keuangan syariah di dunia international. Baik itu di industri asuransi syariah, perbankan syariah bahkan di industri pasar modal syariahnya. Sehingga untuk menjadikan Indonesia sebagai international hub dalam industri keuangan syariah bisa dicapai dengan lancar. Wallahu a’lamu bis shawab
Oleh: H.M. Iman Sastra Mihajat, LC, PDIBF, MSC
Penulis adalah Dosen Perbankan Shariah dan Pasar Modal Shariah di Universitas Al Azhar Indonesia, Konsultan Asuransi Shariah, Perbankan Shariah dan Pasar Modal Shariah Zakirah Group, Trainer Fikih Muamalah on Islamic Banking and Finance Di Iqtishad Consulting MES, R&D WakafPro99 Dompet Dhuafa Jawa Barat, Kandidat Ph.D Islamci Banking and Finance (IIiBF) International Islamic University Malaysia.

sumber: http://www.pkesinteraktif.com/edukasi/opini/2760-bridging-the-gap-antara-teori-dan-praktek-industri-keuangan-syariah.html

Sunday, July 10, 2011

Pasar Uang Syariah: Instrument Baru di Industri Perbankan Syariah di Indonesia

Pasar Uang Syariah: Instrument Baru di Industri Perbankan Syariah

MONDAY, 11 JULY 2011 11:39    BAHRUL

Seiring dengan pesatnya perkembangan perbankan syariah tanah air, inovasi produk sangat diperlukan untuk memenuhi kebutuhan permintaan dari nasabah. Dimana hal ini harus disiapkan oleh industri perbankan syariah. Jika tidak, fungsi dasar Bank Syariah di awal sebagai rahmatan lil’alamin tidak akan tercapai. Karena hitthoh berdirinya perbankan syariah di tanah air adalah salah satunya untuk menjadi rahmat bagi semesta, tidak hanya bagi umat muslim, akan tetapi untuk seluruh manusia, apapun itu agamanya.

Hal kedua yang menjadi hitthoh berdirinya bank syariah adalah supaya produk-produk yang ada di bank syariah bisa link langsung untuk tujuan sector riil. Karena permasalahan yang ada di konvensional jangan sampai terjadi di industri perbankan syariah yang mana kebanyakan dana mereka lari ke pasar derivative yang secara otomatis tidak digunakan untuk sector riil akan tetapi lebih kepada mencari keuntungan dari aksi spekulasi yang mereka kerjakan. Dimana sudah kita ketahui semua bahwasanya spekulasi sangat dilarang dalam Islam.

Hal ketiga yang menjadi hitthoh munculnya industri perbankan syariah adalah menjauhi riba dari setiap transaksi yang dilakukan, dimana hal tersebut sudah lumrah terjadi di industri perbankan konvensional. Hal ini sangat bertentangan dengan ajarah syariah dimana konsep riba ini telah menjadikan system ekonomi moneter menjadi tidak stabil. Dan konsep ‘orang kaya tambah kaya, orang miskin tambah miskin’  sangat subur dimana-mana, seakan-akan tidak ada celah bagi yang tidak berduit untuk maju dikarenakan kebanyakan dana yang ada larinya ke sector yang tidak mendukung perkembangan ekonomi riil.


Dukungan Regulator

Karena industri perbankan syariah terus berkembang, dan perlunya inovasi akad untuk menjawab setiap kebutuhan dari nasabah, maka Bank Indonesia dari Direktorat Perbankan Syariah telah berinisiatif mengumpulkan para decision maker yang terkait untuk memajukan pasar uang syariah tanah air. Baik itu dari pihak pemerintah yang dalam hal ini didukung oleh Kementerian Keuangan, dan juga dari pembuat fatwa yaitu diwakili oleh Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI), dari akademisi diwaliki oleh Drs. Agustianto, MA, dan pemain pasar uang syariah di setiap individu bank yang diwakili oleh tim treasury department perbankan syariah (Bank Syariah Mandiri, Bank Muamalat Indonesia, Bank Syariah Bukopin, Bank Mega Shariah, dll).

Hal ini dirasa sangat perlu mendengar pendapat di setiap pihak yang terkait dalam pengembangan pasar uang syariah dimana diskusi ini disebut sebagai Focus Group Discussion. Dikarenakan tumbuhnya asset perbankan syariah di tanah air ini, konsep pengelolaan asset dan liability (aktifa dan pasiva) sangat berperan penting dalam kemajuan sector perbankan syariah. Dimana yang sudah kita ketahui, mismatch yang ada di perbankan syariah dimana asset mereka sifatnya jangka panjang dan tidak mudah dikonversikan ke tunai. Sedangkan di sisi passiva sifatnya jangka pendek dan nasabah bisa mengambilnya kapan saja membuat bank syariah mau tidak mau harus memiliki instrumen pendukung untuk mengelola dua kolom yang berbeda ini. Jika tidak, kondisi perbankan syariah akan mengalami permasalahan dalam kelebihan liquiditas maupun kekurangan liquiditas.

Jika kelebihan liquitias, untuk mencapai keuntungan yang maksimal, maka seharusnya pihak bank yang diwakili oleh treasury department harus mencari akal agar kelebihan likuiditas ini bisa diinvestasikan di tempat lain. Sebaliknya, jika mereka kekurangan liquiditas, maka mereka harus mencari tempat untuk menutupi kekurangan tunai mereka agar bagaimana supaya tidak terjadi bank run dan pihak DPK tidak khawatir ketika mereka ingin mengambil tunai, bank syariah selalu siap menyediakan setiap kebutuhan tunai yang dilakukan oleh nasabah.


Instrumen Pasar Uang Syariah

Dari hasil diskusi kemarin yang dilaksanakan di Hotel Hyatt Regency Bandung (yang mana saya juga ikut andil didalamnya), kebanyakan instrumen yang biasa digunakan oleh industri perbankan syariah adalah REPO. Dimana hal ini sudah biasa digunakan dalam industri perbankan konvensional. REPO (repurchase agreement) adalah instrument yang biasa dipakai di bank konvensional baik ketika kekurangan likuiditas maupun kelebihan. Sertifikat ini dijual dalam diskon (contoh nominal value-nya adalah 1000, bisa dijual dengan 910, 950 dll tergantung jangka waktu yang ditawarkan) dan 1 atau 3 bulan kemudian, tergantung pada kebutuhan bank, maka sertifikat ini akan dijual kembali dengan nominal value-nya. Hal ini dilarang dalam syariah yang didalamnya ada unsur riba karena penghitungannya berdasarkan time value of money.

Sedangkan di industri perbankan syariah, hal yang sudah dilakukan adalah REPO syariah. Akan tetapi hal ini menurut saya bermasalah, jikalau menggunakan konsep yang dilakukan sistem konvensional, tinggal menambahkan kata syariah didalamnya.

Fatwa DSN-MUI No. 78 juga telah memberikan salah satu solusi untuk transaksi money market antar bank dengan SIMA-nya. Baik dengan akad mudharabah ataupun wakalah. Akan tetapi, menurut penulis fatwa ini belum spesifik, karena masik banyak instrumen lain yang bisa dilakukan oleh bank syariah untuk memenuhi pengelolaan likuiditasnya.
Oleh sebab itu, perlunya inovasi akad demi memenuhi kebutuhan industri perbankan syariah di tanah air. Dalam Fokus Group Discussion (FGD) kemarin, telah ditemukan beberapa solusi yang bisa dijadikan alternatif oleh perbankan syariah untuk pengelolaan asset dan liability mereka.


Inovasi Akad Dalam Pasar Uang Syariah

Nature dari akad sendiri dalam syariah pada dasarnya adalah mubah atau diperbolehkan. Jadi, jika tidak terdapat larangan dalam syariah, maka akad itu bisa diaplikasikan dalam industri perbankan syariah terkhusus untuk instrumen keuangan syariah. Kalau kita baca kembali buku-buku klasik, banyak sekali terdapat akad-akad mungkin dalam pandangan beberapa ahli syariah tanah air ini tidak mungkin, akan tetapi hal itu pernah terjadi dalam abad sebelumnya. Contoh, akad sale and buy back agreement, didalam kumpulan undang-udang muamalah yang dibuat oleh Imam Hanafi didalam bukunya Majallatul Ahkam Al-‘Adliyyah disana disebutkan konsep bay’ wafa’. Dimana akad ini menjelaskan diperbolehkannya akad jual dan beli kembali dimana hal ini dibutuhkan karena kemajuan zaman yang terus menuntut pelaku pasar untuk inovasi. Meskipun untuk detailnya penulis tidak bisa menjelaskan dalam tulisan ini, karena bisa bisa menjadi sebuah paper dan butuh telaah yang lebih jauh.

Hal lain yang bisa kita inovasi adalah bagaimana menyelesaikan solusi risiko valas. Banyak instrumen yang bisa ditawarkan dalam pengamanan posisi (hedging) baik itu, Islamic Swap, Islamic Currency Swap, Islamic Cross Currency Swap, Islamic Derivative (Islamic Forward, Islamic Futures dan Islamic Option). Akan tetapi, produk ini masih menjadi debatable di dunia international, akan tetapi beberapa Negara telah membolehkan pemberlakuan transaksi ini dengan memberikan guidelines-guidelines supaya terhindar dari spekulasi.

Salah satu yang disyaratkan oleh beberapa organisasi internasional adalah, transaksi yang berlaku harus bertujuan untuk hedging, bukan spekulasi, kedua transaksi yang dilakukan harus riil, ketiga transaksi tersebut harus terjadi perpindahan kepemilikan, dan lain-lain. Ada yang menyebutkan sampai 12 parameter yang harus diikuti untuk melakukan transaksi ini yang tidak mungkin disebutkan satu persatu disini.

Hal lain yang bisa dilakukan oleh industri perbankan syariah adalah Islamic Securitization (sekuritisasi syariah). Hal ini sangat diperlukan dikarenakan pada saat bank syariah butuh injeksi likuiditas, asset-aset bank shariah yang sifatnya fix payment (murabahah dan ijarah) bisa dikumpulkan sebagiannya (pool of asset) dan disekuritisasi melalui SPV dan bisa dijual kepada investor tergantung pada besaran nilai yang dibutuhkan oleh bank untuk pengelolaan assetnya. Meskipun hal ini masih perlu pendalaman lebih lanjut bagaimana mekanisme yang digunakan dan apa akad-akad yang bisa dipakai.

Maka dari itu, perlunya bagi Bank Indonesia untuk membentuk tim research yang mana terdiri dari ahli-ahli syariah dan pasar uang syariah supaya hal ini bisa diaplikasikan dimasa mendatang. Oleh karena itu, selain tim ini, penulis rasa Bank Indonesia harus Moving Forward sekarang ini dengan membuat tim Ahli Syariah di lembaga yang mempunyai otoritas tertinggi di industri perbankan syariah tanah air ini untuk menjawab berbagai tantangan yang ada.


Sukuk, Sebagai Salah Satu Instrumen Pasar Uang Syariah

Sebagaimana yang kita ketahui, perkembangan sukuk tanah air semenjak diterbitkannya obligasi syariah pada tahun 2002 oleh Indosat. Perkembangan penerbitan Sukuk terus mengalami perkembangan yang sangat baik. Sehingga undang-undang sukuk pada tahun 2008 disahkan oleh DPR dikarenakan tuntutan investor baik dalam negeri maupun luar negeri demi menjamin investasi mereka.

Sukuk adalah Efek Syariah berupa sertifikat atau bukti kepemilikan yang bernilai sama dan mewakili bagian yang tidak tertentu (tidak terpisahkan atau tidak terbagi (syuyu’/undivided share)) atas:

1) aset berwujud tertentu (a’yan maujudat);
2) nilai manfaat atas aset berwujud (manafiul a’yan) tertentu baik yang sudah ada maupun yang akan ada;
3) jasa (al khadamat) yang sudah ada maupun yang akan ada;
4) aset proyek tertentu (maujudat masyru’ mu’ayyan); dan/atau  kegiatan investasi yang telah ditentukan (nasyath ististmarin khashah). (BAPEPAM-LK)

Salah satu hasil diskusi FGD kemarin adalah, pihak industri keuangan syariah mengusulkan supaya instrumen sukuk bisa dimasukkan dalam FDR (financing to deposit ratio). Akan tetapi hal ini dibantah oleh sebagian bahwasanya jikalau hal ini bisa dimasukkan, maka bank syariah akan keluar dari hittoh-nya yakni lembaga yang focus ke industri riil.

Terlepas dari masalah masuk dalam FDR atau tidak. Akan tetapi sukuk bisa dijadikan sebagai salah satu instrumen pasar uang di lembaga keuangan syariah. Karena asset yang ada diperbankan syariah bisa dijadikan sebagai pool of asset yang bisa disekuritisasi dan diperdagangkan oleh antar bank syariah sebagai instrumen asset liability management.


Penutup

Demi menjadikan bank syariah tanah air attraktif oleh investor luar, maka masih banyak yang harus dikaji baik dari segi akad, shariah compliant, dan applicability dari produk yang ditawarkan. Oleh sebab itu, tujuan dari Focus Group Discussion kemarin adalah untuk menyelesaikan masalah-masalah yang masih terjadi saat ini.

Tulisan di atas sebenarnya masih terlalu singkat untuk membahas konsep pasar uang syariah. Kalau kita bandingkan dengan Negara tetangga Malaysia, mereka lebih advance dalam pengembangan instrumen ini, dari

Tahun 1994 memperkenalkan Islamic Interbank Money Market (IIMM), 1996 implementasi dari Mudharabah Interbank Investment (MII), 1999 Mengenalkan Bai Al-Inah Funding (last resort funding facility Oleh BNM untuk melindungi posisi Bank syariah yang deficit.), tahun 2000 Mengenalkan Bank Negara Negotiable Notes (BNNN) Berdasarkan Bai al-Inah, tahun 2001 memperkenalkan Government Investment Issue (GII) – memakai akad Bai al-Inah. Tahun 2002 wadiah acceptance di perkenalkan, dan BNM mengeluarkan petunjuk Notes di Sell and Buy Back Agreement (SBBA), tahun 2004 memperkenalkan Malaysian Islamic Treasury Bills (MITB) yang pertama, tahun 2005 Menerbitkan Profit-Based GII yang pertama, tahun 2006 Penerbitan perdana Sukuk Bank Negara Malaysia Ijarah (SBNMI), 2009-2010 kemarin mereka memperkenalkan konsep Bursa Suq Al-Sila’ menggunakan akad komoditi murabahah.

Dari sejarah di atas, bisa kita lihat bahwasanya mereka terus melakukan inovasi akad dalam pengembangan pasar uang syariah. Disisi lain, mereka juga memiliki tim ahli syariah yang mengerjakan konsep per konsep sehingga terjadilah perkembangan produk yang sangat baik.

Oleh karena itu, Bank Indonesia sebaiknya memiliki tim untuk mengerjakan hal yang seperti ini demi menuju perbankan syariah yang diakui baik didalam maupun diluar negeri. Wallahu a’lam bis shawab



Oleh: H.M. Iman Sastra Mihajat, LC, PDIBF, MSc Fin
Penulis adalah Dosen Perbankan Shariah dan Pasar Modal Shariah di Universitas Al Azhar Indonesia, Konsultan Asuransi Shariah, Perbankan Shariah dan Pasar Modal Shariah Zakirah Group, Trainer Fikih Muamalah on Islamic Banking and Finance Di Iqtishad Consulting MES

sumber: http://www.pkesinteraktif.com/edukasi/opini/2701-pasar-uang-syariah-instrument-baru-di-industri-perbankan-syariah.html

H.M. Iman Sastra Mihajat
Ph.D Candidate of Islamic Banking and Finance (IIiBF)
International Islamic University Malaysia
Tel: +60 17 2542253/ +62 838 22068882
www.imansastra.blogspot.com

Monday, July 4, 2011

Islamic Exchange Traded Fund (Islamic ETF): Instrumen Baru di Pasar Modal Syariah

Islamic Exchange Traded Fund (Islamic ETF): Instrumen Baru di Pasar Modal Syariah

MONDAY, 04 JULY 2011 15:38     ZARKASIH  
Perkembangan pasar modal syariah di pasar domestik dan global terus menunjukkan trend positif. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor yang menunjang perkembangan tersebut. Faktor yang pertama adalah isu perkembangan syariah yang terus mengalami kemajuan yang sangat pesat, sehingga harus diimbangi dengan produk pasar modal yang sesuai dengan syariah untuk merespon permintaan pasar. Faktor yang kedua adalah investor muslim yang tetap mempertahankan dana mereka di pasar bursa, tetapi berharap produknya harus sesuai dengan syariah. Hal ini menjadi sesuatu yang sangat positif karena awareness mereka terhadap syariah compliant produk menuntut mereka untuk berinvestasi pada saham yang sesuai dengan syariah. Factor yang ketiga adalah faktor keuntungan yang kompetitif dibandingkan dengan produk konvensional.

Hal ini juga didukung oleh regulasi dari BAPEPAM LK dan fatwa DSNM-MUI No 80 yang telah memberikan lampu hijau atas transaksi yang terjadi dipasar modal syariah. Pada bulan kemarin, Bursa Efek Indonesia (Indonesian Stock Exchange) telah mengeluarkan index syariah baru untuk memenuhi tuntutan zaman dan agar mampu mengimbangi Index saham gabungan (IHSG), maka dikeluarkanlah Indonesian Syariah Stock Index (ISSI). Index ini merepresentasikan kinerja perusahaan-perusahaan yang masuk dalam kategori syariah.



Akan tetapi seiring dengan kemajuan diatas, ada beberapa produk yang belum menjadi perhatian yang serius oleh bursa efek Indonesia, yaitu produk Islamic Real Estate Investment Trusts (iREITs) dan Islamic Exchange Traded Fund (iETF). Dari kedua produk yang cukup menarik untuk dibahas menurut saya adalah Islamic ETF.

Apa itu Islamic ETF?



Islamic Exchange Traded Fund adalah sebuah produk di pasar bursa yang terdiri dari unit-unit (dimalaysia terdiri dari 25 saham terpilih, dieropa 30 saham terpilih) yang merepresentasikan atas kumpulan-kumpulan efek yang telah dipilih dan harus sesuai dengan syariah. Islamic ETF mempunya perbedaan dengan reksadana, di antara perbedaan tersebut adalah Islamic ETF ini bisa diperjual belikan di bursa efek sedangkan reksadana tidak. Ia juga berbeda dengan efek pada umumnya, efek merupakan representasi dari saham kepemilikan dari sebuah perusahaan, sedangkan Islamic ETF ini dari beberapa perusahaan yang telah dipilih oleh issuer.

Dari aspek diversifikasi, tentu Islamic ETF sama seperti reksadana, kita sudah otomatis mendiverasifikasi portfolio kita karena tidak hanya terdiri dari satu efek, akan tetapi beberapa, ketika terjadi masalah disalah satu efek kita, maka efek yang lain akan membantu dan ini tidak terjadi di saham.

Kelebihan lainnya adalah dari aspek transparansi, di Islamic ETF kita sangat transparan dibandingkan dengan reksadana. Dalam produk reksadana kita tidak mengetahui dimana investasi kita diletakkan, hanya fund manager dan perusahaan reksadana saja yang mengetahui hal tersebut. Di Islamic ETF sama seperti investasi disaham, kita sebagai pemegang sertifikat ini mengetahui apa saja yang terjadi atas perusahaan-perusahaan yang tergabung dalam Islamic ETF ini.

Untuk membeli Islamic ETF ini kita harus membelinya melalui perusahaan-perusahaan yang mempunyai izin untuk memperjual belikan saham yang telah tercatat di bursa, sama seperti membeli saham pada umumnya. Sedangkan direksadana kita membelinya melalui perusahaan reksadana syariah. Dari aspek management fee, Islamic ETF lebih murah biayanya dibandingkan dengan reksadana syariah yang umumnya dibawah 1%,  sedangkan reksadana biasanya men charge 1-3%. Sedangkan disaham tidak ada managemen fee.

Kelebihan lainnya adalah, ketika kita memperjual belikan Islamic ETF ini, tidak dikenakan charge apapun,  sama seperti menjual saham. Sedangkan direksadana syariah kita bisa dikenakan fee 3-5%, mahal bukan? Dari aspek brokerage fee nya, Islamic ETF sama seperti saham yaitu 0.6% sedangkan di reksadana tidak ada. Yang terakhir adalah cash settlement nya sama seperti saham yaitu t+3 yang memerlukan waktu 3 hari untuk pencairan, berbeda dengan reksadana yang bisa dilakukan pada saat itu juga.

Apakah Produk ini Ada di Bursa Efek Indonesia?

Memang sangat disayangkan sekali, produk ini belum terdapat di bursa efek Indonesia. Dalam satu pertemuan saya dengan salah seorang praktisi di bursa efek, beliau mengatakan bahwa produk ini tidak terlalu diminati oleh para investor. Really? Pertanyaan selanjutnya adalah, jika reksadana itu diminati oleh investor, saham pun diminati oleh investor, mengapa produk yang lebih baik dan lebih kompetitif dari reksadana syariah dan saham syariah ini tidak diminati?

Saya pribadi menilai hal ini disebabkan kurangnya sosialisasi bursa efek Indonesia atas produk-produk yang attractive seperti Islamic ETF ini. Kalau kita melihat perbedaaan antara Islamic ETF, saham syariah dan reksadana syariah pasti tentunya Islamic ETF lebih kompetitif dan lebih menguntungkan dibandingkan investasi lainnya. Dilihat dari aspek keuntungan, Islamic ETF lebih menguntungkan dibandingkan yang lain. Dari aspek fee, Islamic ETF lebih murah. Dari aspek transparan, Islamic ETF lebih transparan dibandingkan reksadana yang kita tidak tau dimana dana kita di investasikan, namun tiba- kita melihat index reksadana turun drastis dan kita tidak tau apa yang menjadi factor penyebabnya.

So, sebagai investor kita seharusnya lebih bisa memilih dimanakah kita mau berinvestasi? Selamat memilih. Wallahua’lam

Penulis adalah Dosen Perbankan Syariah dan Pasar Modal Syariah di Universitas Al Azhar Indonesia, Konsultan Asuransi Syariah, Perbankan Syariah dan Pasar Modal Syariah Zakirah Group, Trainer Fikih Muamalah on Islamic Banking and Finance Di Iqtishad Consulting MES

Popular Posts