Friday, June 3, 2011

Kritik Terhadap Standar PSAK Dan Urgensi Memiliki Dewan Syariah

Kritik Terhadap Standar PSAK Dan Urgensi Memiliki Dewan Syariah

FRIDAY, 27 MAY 2011 13:57        BAHRUL
Dalam beberapa tahun terakhir, perkembangan perbankan syariah
menunjukkan kemajuan yang sangat pesat, baik dari aspek pertumbuhan
asset maupun dari sisi keberagaman produk. Di awal masuknya perbankan
syariah di tanah air, perkembangan produk tidak terlalu bervariasi
yang mugkin hanya terfokus pada satu akad yang biasa dipakai, yaitu
murabahah. Seiring dengan berkembangnya perbankan syariah saat ini,
hampir kita lihat di berbagai belahan dunia, variasi produk  sangat
memberikan dampak kompetitif antara perbankan syariah dan perbankan
konvensional. Berkembangnya variasi produk juga akan berdampak pada
kompetitifnya produk-produk perbankan syariah dalam negeri dibanding
dengan produk luar, sehingga sesuai dengan demand para investor luar
akan produk-produk perbankan syariah yang lebih shariah compliant di
bandingkan Negara-negara lainnya.

Akan tetapi, perkembangan variasi produk ini sangat disayangkan tidak
diikuti oleh kemajuan PSAK yang ada di tanah air. Oleh karena itu,
banyak para akademisi yang mulai mengkritik produk buatan PSAK ini
tidak sesuai dengan syariah (non-shariah compliant), hal ini
disebabkan banyak kemiripan dalam prakteknya dengan bank konvensional.
Tidak hanya datang dari kalangan akademisi saja, kritikan ini juga
datang dari salah satu praktisi perbankan syariah dimana mereka merasa
bingung dengan pencatatan akuntansi suatu produk yang seharusnya akad
yang dipakai antara nasabah dengan bank syariah itu misalnya produk A,
akan tetapi dalam pencatatannya masuk dalam produk B. Ada juga
pendapat lain yang beropini bahwa PSAK kita ini tidak sesuai dengan
syariah karena tidak ada kompetensi para penyusun standar PSAK yang
ada di tanah air dari bidang syariah, sehingga terjadi tumpang tindih
antara variasi produk yang dikembangkan dengan standar akuntansi
syariah di Indonesia.

Permasalahan Praktek PSAK di Perbankan Syariah

Salah satu yang sangat disayangkan oleh para praktisi perbankan
syariah di Indonesia adalah praktek transaksi murabahah yang terjadi
di tinjau dari aspek pembayarannya. Dalam standar PSAK ketika terjadi
transaksi murabahah nasabah diwajibkan mau tidak mau harus mencicil
harga beli tadi dengan hitungan perbulan dengan cicilan harga pokok
ditambahkan dengan margin. Sedangkan kalau dilihat dari aspek
pembayaran, si nasabah berhak memilih apakah mau membayar margin
terdahulu dan harga pokok dibayarkan di akhir. Dari kasus ini kita
bisa menyimpulkan bahwa variasi pembayaran yang ditetapkan oleh PSAK
hanya satu aspek pembayaran, akan tetapi kalau di tinjau dari aspek
fikih, pihak bank seharusnya bisa menawarkan dua pilihan, apakah ingin
membayar cicilan bulanan itu pokok plus margin atau dia bisa memilih
mau membayar cicilan margin terlebih dahulu dan pokoknya dibayarkan di
akhir.

Secara fikih, syariah memberikan otoritas penuh kepada nasabah dan
pihak bank dalam melakukan model pembayaran, apakah mau secara cash
(baik cash secara langsung, ataupun cash yang akan dibayar setelah
beberapa hari) ataupun cicilan (dimana caranya bisa ditentukan oleh
kedua belah pihak).

Kasus kedua adalah yang terjadi di produk take over. Hal ini terjadi
ketika si nasabah ingin memindahkan pembiayaannya dari satu bank
syariah ke bank syariah lainnya (resecheduling). Contoh nasabah A
melakukan kontrak pembiayaan murabahah rumah misalnya dengan bank
syariah A dalam tempo 10 tahun, 5 tahun kemudian nasabah A ingin
memindahkan pembiayaannya kepada Bank syariah B dikarenakan beberapa
faktor, nah bagaimanakah penulisannya dalam standar PSAK? Dalam
prakteknya di perbankan syariah, pembiayaan nasabah A tadi akan masuk
dalam Qardh, sedangkan dalam Qardh itu tidak boleh ada tambahan uang
sedikitpun, jika ada tambahan maka akan ada riba di dalamnya. Dari
kaca mata bank, ini akan merugikan dikarenakan tidak boleh mendapatkan
keuntungan.

Kalau kita berkaca pada peraturan DSN MUI No. 31, DSN MUI memberikan 4
alternatif proses pembiayaan dengan beberapa kontrak (hybrid
contract). Permasalahannya adalah standar PSAK hanya me-recognize satu
kontrak saja, yaitu qardh (hutang). Seperti salah satu contohnya pada
fatwa DSN-MUI No. 31 ayat 2, pertama bank syariah B akan mengadakan
syirkah milk dimana bank syariah B akan bersama-sama nasabah
(partnership) membeli rumah tersebut contoh (iB 30%-Nasabah 70%) maka
selanjutnya Bank akan menjual share-nya (30%) kepada Nasabah A dengan
dibayar secara kredit (cicilan), kontrak kedua adalah bay’ (jual
beli), ketiga, Bank Syariah akan menjual ini dengan memakai akad
murabahah, dimana bank syariah akan men-disclose capital plus
profit-nya kepada customer.

Dilihat dari kewajiban pencatatan yang sesuai dengan syariah, maka
harus ada 3 akuntansi disana. Sedangkan didalam standar PSAK tidak
bisa menyediakan pencatatan ini sesuai dengan kontrak yang
dilaksanakan. Jika ditinjau dari aspek shariah compliant, maka standar
PSAK pada kasus ke 2 tidak sesuai dengan syariah (non-shariah
compliant accounting).

Dasar Syariah Dalam Penulisan PSAK

Setelah kita menjelaskan dua kasus akuntansi di atas yang sebenarnya
masih banyak kasus-kasus yang terjadi perbankan syariah di mana
PSAK-nya menyalahi ketentuan ketentuan syariah. Namun dalam kesempatan
ini kami hanya membahas beberapa contoh dari praktek-praktek yang
terdapat di perbankan syariah.

Dasar yang kami ambil dalam penilaian bahwa PSAK yang ada di Indonesia
tidak sesuai dengan syariah adalah dari al-Quran dan al-Sunnah.

Dalam surat Al Baqarah 282:

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu`amalah tidak secara
tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan
hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar.
Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah
mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang
berutang itu mengimlakan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia
bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikit
pun daripada utangnya…”

Al-Maidah 1:

“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu (kontrak yang
telah kalian transaksikan)…”

Dari dua ayat al-Quran di atas, Allah SWT memerintahkan kita untuk
menuliskan setiap kontrak yang terjadi, baik itu di industri takaful,
perbankan syariah dan pasar modal syariah. Allah juga memerintahkan
penulisan akuntansi setiap akad yang terjadi itu sesuai dengan akad
yang dilaksanakan setiap transaksi. Sebagai contoh, ketika terjadi
kontrak kafalah (penjaminan) dalam pembiayaan multi jasa, maka
penulisannya harus akad kafalah. Jika penulisan akuntansinya
dituliskan dalam qardh, maka ini sudah tidak sesuai dengan syariah.

Perbedaan dalam penulisan akuntansi dalam setiap transaksi, tidak
hanya berimplikasi pada non shariah compliant produk tersebut, akan
tetapi juga berimplikasi terhadap bank syariah itu sendiri, ketika
terjadi akad qardh, maka tidak boleh ada kelebihan dana (manfa’ah)
yang bisa bank syariah nikmati. Kalau ada, maka itu masuk dalam
kategori riba.
Hadits nabi:

“Rasulullah melarang jual beli Gharar”

Unsur gharar terjadi dimana penulisan PSAK di atas akan menimbulkan
dispute di masa datang. Misalnya ketika terjadi default, maka
berapakah yang harus nasabah tanggung, apakah hanya pokoknya saja?
Atau pokok plus profit? Jika akad yang dipakai dalam akuntansi itu
qardh, maka si nasabah berhak hanya membayar pokoknya saja, tentunya
hal ini akan merugikan pihak bank dan mereka akan terdzalimi.

Urgensi Memiliki Shariah Committee dalam Penetapan Standar PSAK

Setelah kita menelaah kasus di atas dan bagaimana dasar penulisan PSAK
secara umum dalam al-Quran maupun al-Sunnah. Permasalahan yang ada
dalam penulisan PSAK yang ada saat ini disebabkan tidak terdapat ahli
syariah dalam perumusan PSAK tersebut. Maka dari itu, peran Shariah
scholar ataupun dewan syariah sangat diperlukan sehingga tidak terjadi
hal-hal yang tidak diinginkan.

Kalau kita mau berkaca pada AAOIFI (Accounting and Auditing
Organization for Islamic Financial Institution) di Bahrain dan juga
IFSB (Islamic Financial Services Board) di Malaysia,
organisasi-oranisasi tersebut dalam menetapkan setiap akad pasti
melibatkan beberapa ulama yang ahli syariah sehingga meminimalkan
terjadinya kesalahan dalam penulisan yang tidak sesuai dengan syariah.

Oleh sebab itu, keberadaan dewan syariah di lembaga akuntansi di
Indonesia bisa menjadi WAJIB karena banyaknya permasalahan yang
terjadi di standar PSAK yang menyebabkan beberapa produk perbankan
syariah kita tidak sesuai dengan syariah.

Pentingnya Sinergi antara Ahli Akuntansi dan Ahli Syariah

Dalam penetapan suatu hal baik itu standar akuntansi di perbankan
syariah (PSAK), produk-produk di takaful maupun di pasar modal syariah
seharusnya diserahkan kepada pihak yang ahli. Dalam penetapan
akuntansi, tidak hanya orang yang ahli akuntansi yang dibutuhkan, akan
tetapi tenaga ahli syariah juga sangat penting demi menghindari
terjadinya dispute di kemudian hari.

Oleh karena itu, seharusnya tim penetapan standar akuntansi syariah
nasional yang ada harus melibatkan beberapa tenaga ahli syariah yang
kompeten (tidak hanya mengerti di bidang syariah, tetapi juga memahami
prinsip-prinsip akuntansi dan perbankan syariah, kalau penetapannya
terkait di bidang perbankan syariah. Sedangkan jika terkait dengan
pasar modal syariah, maka yang ahli di pasar modal syariah harus
dilibatkan). Sehingga kritikan terhadap standar akuntansi yang ada
tidak menimbulkan permasalahan dan bisa jadi menyebabkan produk
tersebut tidak sesuai dengan syariah.

Ditulis oleh: M. Iman Sastra Mihajat
Pengamat Perbankan Syariah, Takaful dan Pasar Modal Syariah
Kandidat Ph.D in Islamic Banking and Finance (IIiBF) International
Islamic University Malaysia

sumber: http://www.pkesinteraktif.com/edukasi/opini/2557-kritik-terhadap-standar-psak-dan-urgensi-memiliki-dewan-syariah.html

Popular Posts